Suatu Hari Di Brajakelana

12.2K 2K 248
                                    

Pagi di Belantara tak pernah sedingin ini.

Bukan karena cuacanya. Matahari pagi bersinar keemasan dari sudut timur, menyapu rerumputan di sekeliling Ardela. Angin berhembus lembut, memberi kesegaran sekaligus rasa hangat ke sekujur tubuh. Yang membuat pagi ini dingin adalah apa yang terjadi dua malam lalu.

Dia menghela napas dan memaksakan senyuman. Dia tak mau terlihat redup di depan teman-temannya.

Seperti biasa, Ardela berkeliling Brajakelana untuk memantau pembangunan. Semua sudah selesai. Belasan tenda baru sudah berdiri, tenda medis sudah bertambah satu, pagar yang mengelilingi landasan sudah terpasang dan tanah ladang sudah selesai digarap.

Brajakelana siap menyambut kedatangan warga Graha besok pagi.

Ardela berhenti saat bertemu Sagita yang sedang memakai sepatu bot di depan tendanya. Dia mengenakan seragam prajurit dan holster pedang terpasang di pinggang. Rambut pixie cut-nya nampak ditarik bando.

"Git, aku udah bilang Sekala untuk meliburkanmu. Kau harus bersantai. Ingatlah besok subuh!"

"Iya, Maharani, tapi pagi ini Elvan yang melatih prajurit. Aku tak mau melewatkan pemanasan."

Ardela menghela napas, panjang dan berat. "Siapa yang mengizinkannya keluar tenda medik?"

"Kau taulah komandermu." Sagita tertawa kecil. "Dia bersemangat bisa kembali kemari, bahkan Disty dan Iren tak bisa menahannya."

Kemudian Ardela mengikuti Sagita ke lapangan. Sepanjang jalan mereka bicara mengenai penerbangan warga Graha besok subuh.

Sagita bilang, pesawat di sana sudah siap. Para pilot dan penumpang juga sudah siap, tinggal berangkat. Meski begitu, ada kemungkinan besar terjadi malfungsi karena mereka akan terbang di atas padang salju.

Tempat itu punya sejuta misteri.

Ardela mengerti segala resikonya, dia sudah menyampaikannya ke Sheryl. Yang bisa dilakukan adalah berusaha sesuai rencana. Lalu berharap untuk yang terbaik sekaligus bersiap menghadapi yang terburuk.

Dia berdiri di pinggir lapangan, melihat para prajurit berlatih di bawah cahaya pagi. Perhatiannya tak lepas dari figur tinggi berdada bidang itu. Terasa lega melihat El kembali berada di sini. Melihatnya kembali berdiri tegap, bernapas, menggerling dan tersenyum tipis. Semua gerakan sederhana itu menghangatkan hari Ardela.

El berdiri di tengah lapangan, dikelilingi prajurit yang saling beradu pedang. Dia gagah mengenakan seragam prajurit serba hitam ditambah pelindung besi di pundak, siku dan lututnya. Wajahnya begitu serius, kedua matanya menatap dingin, membuat auranya begitu mengintimidasi.

Ketika jeda istirahat tiba. El melangkah ke Ardela. Wajah seriusnya berganti menjadi kedua mata yang menatap gajen dan senyum sempurna. Dia mengangguk sekali lalu mencium punggung tangan Ardela.

"Kau memandangiku ya sejak tadi?"

Ardela mengangkat alis. "Jangan kegeeran, Komander." Lalu ia melipat tangan di dada. "Sudah kubilang kau belum boleh beraktivitas. Luka jahitmu bisa terbuka."

"Aku bosan. Apalagi kau enggak menjengukku sama sekali, Nona Sombong."

Seakan sesuatu mencakari hati Ardela. Dia sangat ingin menemani El setelah dijemput kembali ke Brajakelana, bahkan ingin memeluknya semalaman. Namun, itu terasa... tidak benar. Akibat perjanjian yang ia buat dengan Adikara, berada di dekat El membuat keadaan terasa semakin sulit.

Para Penjelajah (Book 2)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang