***
Waktu sudah menunjukkan pukul 07.15 WIB.
Menandakan bahwa jam pelajaran sudah dimulai sejak 15 menit yang lalu di SMA Angkasa.
Tapi, Edgar masih asik menyesap rokoknya dengan santai di warung Babeh. Sesekali, ia melirik ke arah jam yang ia kenakan. Lalu, membuang mukanya dan menyesap kembali batang rokoknya.
Layar ponselnya terlihat menyala, sebuah permainan COC terpampang jelas di layar. Sesekali, kedua ibu jarinya sibuk mentap layar guna mengeluarkan troops untuk 'menyerang' musuh.
Kadang, ia mengumpat. Saat ia harus menerima kekalahan.
"Shitlah."
Babeh, sang pemilik warung, yang mendengar umpatan Edgar barusan sontak berteriak memanggil anak perempuannya.
"Siti!" teriaknya. "Dipanggil Edgar. Kadieu, Siti."
Mendengar suara Babeh yang nyaring, Edgar mendongak. Kaget.
"A Edgar teh manggil Siti?" ujar anak perempuan berdarah betawi-sunda itu.
Dengan gugup, Edgar harus menjawab pertanyaan anak sang pemilik warung. "Hah? Ng-nggak, kok."
"Lah, tadi elu manggil Siti gitu, Gar. Sedengernya Babeh si gitu," sambar Babeh
Edgar berdecak. "Ah, Babeh. Besok jualan cotton bud ajalah."
Babeh tertawa renyaj mendengar guyonan Edgar.
"Yaudah atuh, kalo gitu Siti ke dalem dulu ya, Beh, A."
"Sama. Babeh juga mau masuk dulu. Mau nidurin anak Babeh."
"Babeh punya anak lagi?"
"Itu si Ciko, kucing Babeh yang barusan ngelahirin delapan anak. Kasian dia sendirian, ditinggal lakinya."
Edgar menggelengkan kepalanya,"Anak kucing aja ditidurin, bentar lagi dimandiin."
Lalu, kembali fokus pada layar ponselnya.
"Woi," Leo menepuk bahu kanan Edgar, tak lama kemudian. "Gak sekolah lu?" tanyanya santai.
Edgar hanya menggeleng, tak perduli.
"Males," jawabnya singkat.
Yang dibalas dengan anggukkan kepala oleh Leo.
"Ngerokok mulu, ntar mati lu."
Edgar menghentikan sejenak aktivitasnya, lalu menoleh ke arah Leo. "Mau ngerokok atau gak, toh semua orang juga bakal mati," jawabnya dengan santai.
"Ya, tapi kan..."
"Bacot lu. Makan sono biar ga riweuh."
Leo berdecak, terkadang ingin rasanya ia pukul kepala Edgar dengan sesuatu agar kepalanya yang keras itu bisa melunak.
"Gue gak bawa duit. Pake duit lu dulu, ya," ujar Leo, cengengesan.
"Kata-kata terserem selain 'terserah'. 'Pake duit lu dulu, ya'," balas Edgar seraya menekankan kalimat yang Leo ucapkan.
"Hehehe."
Tak lama dari itu, ponsel nya berdering. Sebuah pesan muncul pada layarnya.
Angga: Caca pingsan.
Melihat pesan yang muncul barusan, sontak Edgar mematikkan putung rokoknya lalu bergegas meraih kunci motornya.
"Mau kemana lu?" teriak Leo.
"Sekolah," balas Edgar cepat.
"Lah, nih anak mabok lem?" gumam Leo, seraya terus melihat Edgar perlahan menghilang bersamaan dengan motor ninja kesayangannya. "Katanya males, sekarang pergi. Teganya dirimu Edgar, meninggalkan daku sendiri."
KAMU SEDANG MEMBACA
A Second Chance
Novela JuvenilJalanan adalah gallerynya. Hidupnya adalah kanvas. Dia adalah kuas. Dan, Tuhan adalah juri. Yang akan menentukan, bagus atau tidaknya gambar yang ia buat dalam kanvas dan gallerynya. Dan, the best partner in lifenya adalah adiknya sendiri. Tanpa it...