***
Januardi, Sera, dan Ratih menjemput Edgar dari sel dengan uang jaminan. Edgar bebas bersyarat.
Ratih memeluk anak laki-lakinya dengan erat.
=
"Apa yang kamu mau, Edgar?" suara dengan nada tinggi milik Aryan membuat Edgar berguncang.
Ratih menenangkan suaminya yang begitu emosi.
"Kamu gak cukup membuat Bunda sama Papa susah? Iya?" bentak Aryan.
Edgar tidak mejawa satu pun kata.
"Papa capek harus selalu ngerti mau kamu! Bilang, kamu mau apa? Hah! Mau jadi berandalan?"
"Pa..." bujuk Ratih dengan sedikit merintih.
Bila dipeluk oleh Caca agar ia tenang.
"Dengan jadi street art itu gak cukup buat kamu? Masih perlu ribut segala? Kamu gak capek?" Aryan semakin meninggikan nada bicaranya.
"Jawab, Edgar Wiratama!"
Edgar menunduk. Ia merasa amat sangat bersalah.
"Maaf," ucap Edgar.
Aryan melunak. Ia menghela nafasnya. Menatap anak laki-laki kesayangannya.
"Kamu adalah anak laki-laki, seharusnya kamu bersikap dewasa dalam menghadapi segala hal, Edgar."
"Iya, Pa. Maaf."
Untuk sesaat, suasana begitu hening. Hanya terdengar suara isakkan tangis.
"Papa tau kamu merasa kehilangan. So, we are. Kita juga kehilangan. Bukan hanya kamu."
Perlahan, Edgar memberanikan diri menatap sang Papa.
"Kita semua terpukul dengan apa yang menimpa Leo. Apalagi kamu dan dia begitu dekat. Papa ngerti kalo kamu marah dan merasa semua harus dibalas. Tapi, bukan begini caranya, Edgar."
Edgar menitikkan airmata.
"Ikhlaslah, Edgar. Kita semua sudah mengikhlaskan Leo. Jangan lagi kamu membahayakan diri kamu seperti ini. Papa gak mau kamu kenapa-napa. Apalagi kalo kamu mengalami apa yang dialami Leo tahun lalu."
Edgar mengepalkan tangannya.
"Leo udah tenang disana. Sekarang, kamu yang harus melanjutkan hidup. Let it go. Karena, dengan ada atau tanpa Leo, hidup harus tetap berjalan," tutup Aryan.
Caca melepaskan pelukkannya pada Bila. Ia menatap anak laki-laki yang ia hindari itu dengan iba. Ia melihat Edgar sangat rapuh. Setelah apa yang ia alami setahun belakangan ini.
Kehilangan saudara yang begitu dekat dengannya, sudah pasti membuatnya hancur.
Caca menghampiri Edgar. Sambil membawa air hangat dan sapu tangan miliknya.
Ia duduk tepat disamping Edgar yang menunduk. Sedangkan, yang lain, pergi meninggalkan mereka berdua.
Caca meraih wajah anak laki-laki itu dengan pelan, lalu membasuh setiap lukanya. Edgar tekejut. Caca tidak berkata apa-apa.
Edgar menatap anak perempuan yang ada dihadapannya dengan luruh dan rapuh.
"Ca..."
"Sssst! Gak usah berisik. Gak usah ribut lagi. Gue udah maafin lo," ujar Caca.
Caca menatap intens Edgar. Kali ini tidak seperti biasanya, ia menatapnya dengan senyuman.
"I'm sorry," ujar Caca. "Gak seharusnya juga gue menyalahkan lo atas semuanya."
"Karena emang itu salah gue, Ca. Kalo aja..."
Jari tangan Caca menyentuh bibir Edgar. "Gak usah dibahas lagi, ya. Mulai sekarang, lo atau pun gue harus ikhlas."
Edgar mengangguk.
"Boleh peluk, gak?"
Caca tertawa renyah.
"Ca?"
"Iya, sini peluk."
Caca memberikan sebuah pelukkan yang Edgar rindukan. Kenyamanan yang tidak lagi ia temukan setelah kepergian Leo. Kedamaian ini perlahan kembali ke dalam hidupnya.
Entahlah, takdir seperti sudah membaik.
Perlahan, ia dapat melepaskan kepergian Leo.
"Besok gue jemput ya, Ca?"
"Hmm."
Rintik hujan diluar menemani mereka mengulang beberapa memori lama diingatannya. Memori yang hilang ditelan dendam dan amarah. Memori yang kembali pulang.
Membawa fakta yang tak dapat disangkal, bahwa keduanya saling merindukan.
Dan, waktu sudah menjawab kerinduan mereka yang terpendam.
Nyatanya, cinta masih berkuasa atas segalanya, disaat amarah dan dendam menyatu, cinta tetaplah cinta yang membawa kedamaian.
=
Edgar membuka kado ulang tahunnya yang ia terima dari Leo tahun lalu. Sebuah kotak yang berukuran cukup besar membuat Edgar mengerutkan alisnya.
Isinya ternyata adalah lima buah cat semprot dengan warna-warna yang berbeda. Juga, ada sepucuk kertas di dalamnya.
Dear, Bro.
HBD, Edgar Wiratama.
Yang terbaik! Semoga lo bisa selalu jadi King of Street Art, Bro.
Tetep jadi kakak yang baik buat gue dan Biya. Tetep jadi yang terbaik buat Caca. Dan, tetep jadi yang terbaik buat Bunda dan Papa.
Salam,
Your Lil Bro.
-
Edgar terenyuh membacanya. Ada beberapa hal yang berbeda antara ia dengan Leo.
Leo selalu bisa mengutarakan kalimat romantis bahkan untuk saudaranya sendiri. Dan, Edgar, lebih menunjukkan ke sikap, bukan sekedar kata-kata.
Biar begitu, keduanya adalah partner terbaik yang Wiratama pernah miliki.
Wajar, jika Edgar begitu terpukul saat ia harus kehilangan adik laki-lakinya. Karena, mereka terlahir dari darah yang sama, tulang yang sama, dan rahim yang sama.
KAMU SEDANG MEMBACA
A Second Chance
Teen FictionJalanan adalah gallerynya. Hidupnya adalah kanvas. Dia adalah kuas. Dan, Tuhan adalah juri. Yang akan menentukan, bagus atau tidaknya gambar yang ia buat dalam kanvas dan gallerynya. Dan, the best partner in lifenya adalah adiknya sendiri. Tanpa it...