#10

288 17 0
                                    

***

Caca berdiri di halaman rumahnya. Menunggu jemputan ojeknya tiba. Ia memainkan ponselnya.

"Ca, kamu gak mau Mama anter aja? Kamu 'kan –"

"Gak usah, Ma. Caca naik ojek aja kayak biasanya."

"Yaudah kalo gitu. Hati-hati, ya."

Caca mengangguk.

"Kalo ada apa-apa, kabarin Mama."

"Iya, Mama bawel," ucap Caca dengan tertawa. "I love you, Ma," teriak Caca, sesaat setelah ojeknya tiba di depan rumahnya.

"Bang, tau 'kan jalannya?"

"Iya, Neng."

-

Tak seperti biasanya, jalanan begitu macet di depan gerbang komplek perumahan Caca.

Caca berdecak. "Yah, pasti telat, nih."

"Mau lewat jalan alternatif lain, Neng?"

"Abang tau?"

Driver ojek langganan Caca itu mengangguk.

"Yaudah."

Ojek online milik Caca berputar arah. Melewati jalan lain dari dalam komplek rumahnya.

Melewati beberapa blok rumah mewah yang dindingnya dipenuhi gambar mural ber-sign "E.W"

"Wah, orang-orang komplek sini kreatif ya, Neng?"

"Kenapa emangnya?"

"Itu grafittinya bagus-bagus."

Caca mendelik. Muak.

"Apaan sih? Itu mah kerjaan anak-anak nakal yang gak bertanggung jawab. Bisanya cuma ngotorin dinding rumah orang," jawab Caca ketus.

"Tapi, bagus kok, Neng."

"Bagus apaan? Yang namanya ngotorin rumah orang tanpa izin mah gak ada bagus-bagusnya, Bang."

Caca terus menggerutu dalam hati kala pasang matanya selalu melihat gambar mural ada disepanjang jalan yang ia lewati.

Sesekali, ia memainkan ponselnya untuk mengalihkan pandangannya dari gambar-gambar yang membuatnya muak dari tadi.

"Makasih, ya, Bang." Caca memberi selembar uang sepuluh ribuan sebelum masuk ke dalam sekolahnya.

"Kembaliannya, Neng?"

"Gak usah, ambil aja."

"Makasih, Neng."

Baru selangkah Caca masuk ke dalam kelas, ketiga sahabatnya serentak memanggil namanya.

"Cacaaa," ucap ketiganya berbarengan.

Caca hanya tersenyum.

"Lo udah gapapa?"

"Apanya yang sakit?"

"Lo udah sehat?"

"Ih, apaan, sih? Orang gue gak kenapa-napa jugaan. Gak usah lebay deh," ujar Caca yang menganggap care ketiga sehabatnya terlalu berlebihan.

"Yaudah, sih. Namanya juga panik liat lo pingsan."

Caca menggerdikkan bahunya. Lalu, mengedarkan pandangannya ke arah ambang pintu kelasnya.

Tepat, saat Edgar melintas. Edgar menoleh ke dalam kelas Caca. Memastikan bahwa anak perempuan itu baik-baik saja.

Kurang dari 60 detik mereka bersitatap, Caca langsung mengalihkan pandangannya.

Edgar menunduk, lalu kembali berjalan.

Sia yang melihat kejadian barusan, hanya mampu terdiam.

"Eh, kemarin siapa yang bawa gue ke Rumah Sakit?"

Sontak, Raya, Sia, dan Angel membisu. Saling bertukar pandang. Dengan menyiratkan pandangan: harus jawab apa, nih?

"Hmm, itu..."

"Itu..."

Caca melihat ketiga temannya yang mendadak bersikap aneh.

"Gengs?"

"Kita." Raya angkat suara. "Iya, kita yang anter lu ke Rumah Sakit."

"Oh, iya iya, bener. Kita panik banget waktu lo pingsan, Ca."

Raya dan Sia memandangi Angel yang masih diam.

"Idem."

Caca mengerutkan dahinya mendengar jawaban Angel.

Sedangkan, Raya dan Sia hanya dapat menghela nafas berat, kemudian menepuk dahinya masing-masing dengan tangan mereka.


A Second ChanceTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang