***
Edgar memetik senar demi senar gitar miliknya. Malamnya terasa sendu. Ia tak dapat melupakan bayangan gadis itu dalam pikirannya. Entah harus berapa kata maaf yang ia ucapkan, namun tak juga dimaafkan. Atau, ribuan pembuktian bahwa ia begitu menyesal atas kesalahannya.
"Ada orang yang bilang, laki-laki boleh menangis disaat resah. Itu manusiawi."
Edgar menoleh. Leo sudah berdiri di ambang pintu kamarnya.
"What's up?" tanya Leo, kala ia menyaksikan Edgar begitu termenung. "Caca?"
Edgar terpaku. Mendengar namanya saja membuat Edgar terdiam. Apalagi berhadapan dengan gadis itu.
"Cinta masih berkuasa atas segalanya. Begitu kata lagu yang gue denger," Leo menarik gitar Edgar.
"Mencintai dia yang bahkan gak menganggap kehadiran kita? Impossible, Leo."
Leo tertawa.
"Bertahun-tahun, Edgar." Leo berdiri sambil berkacak pinggang tepat di hadapan Edgar. "Bertahun-tahun lo memendam perasaan itu. Dan, sampe sekarang pun gak ada yang mampu menggantikannya. Apa lo gak mau berjuang buat perasaan lo?"
Edgar mengusap wajahnya, frustasi.
Ia merebahkan tubuhnya ke atas kasur, lalu memandangi langit-langit kamarnya.
"Berjuang buat orang yang bahkan gak mau menganggap ada kehadiran kita? What for?"
Leo tertawa. Ia berjalan menuju ke arah bingkai foto seorang gadis yang ada di kamarnya. "Berjuang aja dulu. Gagal atau gaknya, itu urusan belakangan."
Leo menoleh ke arah Edgar yang juga melihatnya,"Handsip komplek aja berani lo tantang, masa soal urusan begini lo gak berani? Cupu."
Keduanya tertawa renyah.
"Lo itu emang paling bangke, Leo. Paling bisa buat bikin gue pecundang."
"Jadi, gimana?"
"I'll try."
KAMU SEDANG MEMBACA
A Second Chance
Fiksi RemajaJalanan adalah gallerynya. Hidupnya adalah kanvas. Dia adalah kuas. Dan, Tuhan adalah juri. Yang akan menentukan, bagus atau tidaknya gambar yang ia buat dalam kanvas dan gallerynya. Dan, the best partner in lifenya adalah adiknya sendiri. Tanpa it...