#28

229 13 0
                                    

***

Caca memandangi bingkat foto yang ada di kamarnya. Memperlihatkan ia dengan dua orang lelaki. Foto yang diambil dua tahun yang lalu. Saat itu, hidupnya masih terasa sempurna.

Caca mengenal Leo dan Edgar sebagai anak baru di sekolahnya.

Ketiganya dekat dalam waktu yang singkat. Caca mengenal gambar-gambar mural dari Leo dan Edgar. Dulu, Caca sering ikut jika keduanya sedang menggambar mural di dinding komplek dekat rumah.

Persahabatan mereka berlangsung akrab.

Sebagai perempuan satu-satunya diantara dua laki-laki, Caca jelas diperlakukan secara istimewa.

Caca biasa dimanja, biasa dituruti, dan biasa diperlakukan bak putri raja.

Dua tahun lamanya mereka bersama.

Selayaknya sahabat kebanyakan, tidak ada perempuan yang benar-benar bisa bersahabat dengan laki-laki. Perasaan itu berubah menjadi cinta.

Caca mencintai Leo, namun Edgar mencintai Caca.

Namun, perasaan masing-masing itu hanya dapat dipendam. Tidak ada yang mengungkapkan satu sama lain.

Semua masih terlihat baik-baik saja, sebelum hari yang tidak pernah diinginkan itu datang.

Itu adalah hari dimana Edgar dan Leo memimpin sebuah pertarungan melawan Asha. Dan, akibat dari pertempuran itulah yang menyebabkan nyawa Leo melayang.

Pertempuran yang membuat hidup Edgar berantakan. Pertempuran yang berbuah dendam itu terus tumbuh. Dan, pertempuran yang membuat Edgar kehilangan separuh jiwanya.

Disaat Caca sudah dapat merelakan kepergian cinta pertamanya, disaat ia juga sudah memaafkan Edgar, dan disaat semuanya mulai membaik. Ternyata Tuhan mengujinya dengan ini.

Ujian yang ia takutkan untuk terjadi kedua kalinya.

Airmatanya membasahi bingkai foto yang ia pegang.

Sera yang menyaksikannya di ambang pintu pun tak dapat melakukan apa-apa. Selain, memberinya kekuatan untuk anak perempuannya.

"Ca..."

Sera duduk disamping Caca yang masih menggenggam foto itu.

"Ini...Edgar?" tanya Sera seraya menunjuk.

Caca mengangguk.

"Yang satu lagi?"

"Dia Alvin. Hmm, Leo. Adiknya Edgar."

"Kalian...udah saling kenal?"

Caca mengangguk. Ia mulai bercerita bagaimana dulu persahabatan dengan kedua anak laki-laki yang punya hobi membuat mural itu.

Sera menjadi pendengar yang baik.

Beberapa kali, Caca tertawa saat menceritakan kejadian lucu yang mereka dulu alami.

Sera menangkap dengan baik betapa bahagianya Caca saat bercerita tentang Edgar. Pancaran mata sendu itu perlahan menampakkan bahagianya, meski tercampur linangan airmata.

Meski rindu itu harus bercampur takut saat ini. Meski tawa itu harus bercampur airmata. Dan, meski raganya terpisah oleh jarak. Namun, perasaan itu kian nyata.

Hanya saja, waktu belum mengungkapkan kebenarannya.

A Second ChanceTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang