***
Edgar memarkirkan motornya di halaman luar sekolah. Gerbang sekolah sudah pasti dikunci pada saat ini. Edgar melemparkan ranselnya melalui pagar sekolah, dan memanjatnya untuk masuk.
Dengan santai dan tanpa dosa, ia melenggang seperti biasa. Ia bahkan tidak memperdulikan kehadiran Bu Ira yang sedang berjaga sebagai guru piket.
"Edgar," panggil Bu Ira.
"Bentar ya Bu kalo mau minta tanda tangan. Saya sibuk." Yang dipanggil masih terus berjalan tanpa memperhatikan.
"Telat lagi, Edgar?"
"Ya menurut Ibu aja gimana."
"Mau jadi apa kamu kalo sekolah aja gak tepat waktu?"
"Jadi presiden di Jakarta, Bu. Karena Indonesia sudah terlalu mainstream."
Edgar hanya menjawab seadanya sambil terus berlalu meninggalkan wanita paruh baya yang sejak tadi memperhatikannya, membuat Bu Ira pasrah melihat kelakuannya dengan menggelengkan kepalanya.
-
Raya, Sia, dan Angel.
Ketiganya terlihat panik saat harus mendapati Caca terbaring tak berdaya.
"Kita harus gimana nih?" tanya Raya panik.
"Telfon Nyokapnya aja, gimana?" balas Sia.
"Gimana bisa? HP dia aja mati."
"Oh, iya..."
Keduanya begitu panik. Saling melempar solusi adalah hal yang bisa mereka lakukan saat ini.
"Ngel, lo ngapain sih sibuk sendiri? Bukannya bantuin kita cari solusi," protes Sia.
Perempuan berkacamata dan berambut yang dikuncir kuda itu nyengir,"Gue lagi googling gimana solusinya."
"Bentar ya, gue tanya Mbah Google dulu," ujarnya polos.
Membuat kedua sahabatnya menepuk dahinya masing-masing.
"Ya Tuhan, punya temen segini banget polosnya," celetuk Raya.
"Bego sama polos beda tipis."
Sudah hampir 15 menit berlalu, Caca belum juga tersadar. Terlebih lagi, badannya yang mulai panas membuat ketiga sahabatnya semakin khawatir.
Beberapa saat kemudian, ketiganya terhenyak diam saat mendengar bunyi langkah sepatu mendekat ke arah ruang UKS.
Ceklek.
Pintu UKS terbuka.
Mata ketiganya terbelalak dengan mulut setengah terbuka.
"Edgar?" ucap ketiganya bersamaan.
Edgar hanya melirik ke arah mereka bertiga, lalu pandangannya menuju ke arah Caca yang masih terbaring lemas.
Punggung tangannya menempel pada dahi Caca. Sejenak, dahi anak laki-laki itu berkerut. Lalu ia memerika detak nadi Chaca.
Tanpa banyak bicara, ia membopong Caca dan meninggalkan semua barang-barangnya di dalam UKS.
"Eh, Gar..." Belum sempat Raya berbicara, bayangan Edgar langsung melesat pergi membopong tubuh Caca dengan kedua tanganya.
"...Caca mau dibawa kemana?"
Raya, Sia, dan Angel tidak dapat berbuat apa-apa selain saling bertukar pandangan.
KAMU SEDANG MEMBACA
A Second Chance
Teen FictionJalanan adalah gallerynya. Hidupnya adalah kanvas. Dia adalah kuas. Dan, Tuhan adalah juri. Yang akan menentukan, bagus atau tidaknya gambar yang ia buat dalam kanvas dan gallerynya. Dan, the best partner in lifenya adalah adiknya sendiri. Tanpa it...