***
Seperti biasa, Caca duduk di bangku Bandara. Menunggu yang tidak tahu kapan datangnya. Mengharap yang tidak tahu kapan hadirnya.
Dengan membawa lilin dan kue. Caca mengenakan dress panjang yang membuatnya terlihatnya semakin cantik.
"Please, dateng, Gar, please," gumamnya.
Ia menggerak-gerakan kakinya. Resah.
Ia bahkan tidak tahu, apakah laki-laki itu akan pulang atau tidak.
Caca berkali-kali menggigit bibir bawahnya.
Benar-benar gelisah.
Waktu sudah menunjukkan pukul 18.00 WIB.
Tanda-tanda kehadiran itu tidak juga ada. Caca menghela nafas kecewanya.
Ia bangkit dari duduknya. Berjalan gontai menuju tempat sampah terdekatnya. Dibuangnya kue beserta lilin yang ia bawa.
Airmatanya mengalir deras.
Harapannya hancur.
Ia berjalan tanpa arah, tatapannya hampa.
"Lo jahat, Gar," gumamnya sebelum ia menginjak pedal gas mobilnya.
Caca pulang, dengan tangan hampa. Ia pulang tanpa harapan yang selalu ia tinggikan.
Ia membanting keras pintu kamarnya.
Sesaat kemudian, pandangannya terpaku. Ia terkejut.
Di dinding kamarnya, ada sebuah gambar mural bergambar wajahnya. Wajah anak perempuan yang tengah tersenyum.
Bahagia.
Senyuman yang begitu menggambarkan, bahwa hidupnya sempurna.
Senyuman dua tahun lalu yang membuat seorang laki-laki nyaris gila karena cintanya.
Hari ini, senyuman itu kembali.
Pancaran mata sendunya perlahan menghilang, kala ia menangkap sosok laki-laki tengah berdiri disudut kamarnya sambil membawa kue dan lilin. Tak lupa, dengan senyuman khasnya.
"Edgar!"
Caca berlari menghampiri Edgar yang masih memiliki perban dibeberapa bagian tubuhnya.
"Happy Birthday, Ca."
Akhirnya, suara yang ia rindukan itu kembali ia dengar. Tatapan mata yang ia rindukan itu kembali ia lihat. Dan, wajah yang ia rindukan itu kini ada dihadapannya.
"Make a wish," lanjut Edgar.
Dengan cepat, Caca meniup lilinnya. Ia menggelengkan kepalanya,"Apa yang gue harapin udah ada disini. Gue gak butuh apa-apa lagi."
Edgar tersenyum.
Ia meletakkan kue yang ia bawa. Lalu, merentangkan tangannya, memberi ruang untuk sebuah pelukkan yang akan ia berikan.
"Gue kangen lo, Gar."
"Gue juga kangen sama lo, Ca."
"Gue kira lo gak bakalan dateng tau gak!"
Edgar tertawa ringan.
Mempererat pelukkannya pada Caca. Merasakan betapa wangi tubuh gadis itu masuk melalui lubang hidungnya.
Wangi yang selalu ia rindukan.
"Surprise!"
Tak lama, banyak orang-orang yang datang membuka pintu kamarnya. Mengejutkan.
KAMU SEDANG MEMBACA
A Second Chance
Teen FictionJalanan adalah gallerynya. Hidupnya adalah kanvas. Dia adalah kuas. Dan, Tuhan adalah juri. Yang akan menentukan, bagus atau tidaknya gambar yang ia buat dalam kanvas dan gallerynya. Dan, the best partner in lifenya adalah adiknya sendiri. Tanpa it...