***
Ini akan menjadi hari kelima tanpa Edgar.
Seperti biasa, Caca menyempatkan untuk menoleh ke arah parkiran.
Caca tersentak kaget, kali ini ada pemandangan yang tak biasa yang baru ia lihat.
Senyumnya merekah.
Sebuah mobil sedan hitam terparkir tak jauh dari gerbang.
"Edgar!"
Dengan gembira, Caca berlari menyusuri lorong sekolah menuju kelas Edgar.
BRAKi.
Langkahnya terhenti setelah menabrak Angga.
"Eh, hati-hati, Ca."
"Iya, mau kemana sih lari-lari? Kayak mau ambil gaji aja buru-buru."
"Edgar mana?" tanya Caca dengan antusias.
Stefan dan Angga saling beradu pandang.
"Edgar?" katanya, secara bersamaan.
"Iya. Edgar udah masuk 'kan? Mana?"
Angga menggaruk tengkuknya. Dan, Stefan hanya menautkan kedua alisnya. Bingung.
"Ca, Edgar kan masih dirawat."
"Ih, dia udah sehat. Orang ada mobilnya dia kok diparkiran. Tadi gue ngeliat."
Stefan dan Angga semakin bingung dibuatnya.
"Ih, ayo kalo gak percaya."
Caca menarik keduanya ke wilayah parkiran. Dan, benar, mobil Edgar terparkir disitu.
"Iya 'kan? Gue gak salah liat 'kan? Itu mobil Edgar 'kan?"
Angga bengong. Stefan gak kalah bengong.
"Tapi, Edgar kan –"
Tak lama kemudian, Bila dan Ratih datang menuju ketiganya.
"Tante?"
Bila terdiam. Ia hanya melemparkan senyumnya sekali, kali ini ia terlihat tidak ramah.
"Tante, Edgar mana? Dia udah sehat 'kan? Kalian kesini buat nganter dia 'kan?"
Baik Ratih maupun Bila tidak ada yang menjawab. Keduanya hanya terdiam.
"Feeling gue gak enak nih," celetuk Stefan.
"Tante?" panggil Caca.
Dengan helaan nafas yang begitu berat, Ratih berusaha angkat bicara.
"Edgar belum sadarkan diri. Kita kesini buat bilang kalo Edgar akan kita bawa berobat di Singapur sementara. Untuk mendapatkan perawatan lebih baik," jawab Ratih.
Caca tertunduk. Lemas.
Dengan tidak sadarkannya Edgar saja sudah membuatnya hancur. Bagaimana jika ia harus berjauhan dengan anak laki-laki itu.
"Kita bakal rawat dia sampe dia sembuh, Ca," sahut Bila.
Angga mengelus punggung Caca yang berguncang.
"Kapan?"
"Kita gak tau sampe kapan, Ca. Kita minta do'a nya yang terbaik dari kalian," tutup Bila.
Caca mengangguk pelan, tubuhnya berguncang hebat.
Ratih memeluk anak perempuan itu.
"Edgar pasti sembuh 'kan, Tante?"
Caca menangis. Dalam pelukkan seorang Ibu yang juga tidak tahu pasti bagaimana keadaan anaknya kedepan.
Hanya do'a yang mampu mereka panjatkan. Sisanya, takdir Tuhan yang akan melanjutkan.
KAMU SEDANG MEMBACA
A Second Chance
Fiksi RemajaJalanan adalah gallerynya. Hidupnya adalah kanvas. Dia adalah kuas. Dan, Tuhan adalah juri. Yang akan menentukan, bagus atau tidaknya gambar yang ia buat dalam kanvas dan gallerynya. Dan, the best partner in lifenya adalah adiknya sendiri. Tanpa it...