***
Seperti biasa, sepulangnya sekolah, Edgar bersama kedua temannya bersiap untuk membuat onar, lagi.
"Dimana nih target kita sekarang?" tanya Angga pada kedua temannya.
Tak langsung dijawab, Edgar mengedarkan pandangannya seraya terus menggigit sedotan yang sudah tidak tau lagi bagaimana bentuknya.
"Ikut gue," ajak Edgar.
Ketiganya masuk ke dalam mobil Stefan, Edgar yang menyetir. Stefan sibuk menyiapkan beberapa pilox dan memasukkannya ke dalam tas. Sedangkan, Angga, memasukkan beberapa stuff lainnya yang dibutuhkan.
Sesampainya di sebuah dinding perumahan yang besar, Edgar dan kedua temannya turun. Tak lupa, ia mengganti seragam sekolahnya terlebih dahulu sebelum membuat mural.
Edgar mengenakkan maskernya, dan mulai untuk membuat mural. Tangannya begitu apik dan lincah membuat gambar-gambar graffiti. Kedua temannya membantu Edgar jika membutuhkan beberapa bantuan.
Tak butuh waktu lama untuk menyelesaikan muralnya.
Hanya sekitar 15 menit, dan selesai.
Sebuah gambar graffiti berhasil ia buat dengan apik. Tak lupa, ia menyelipkan sign sebagai tanda.
"E.W"
"Gilsssssss, Edgar The King of Street Art," teriak Stefan girang.
"Gak ada yang bisa ngalahin lo emang, Gar," sahut Angga.
Edgar melepas maskernya. Raut wajahnya begitu ceria, setelah ia melihat hasil karyanya. Ia tidak pernah gagal dalam membuat mural. Karyanya selalu apik dan bagus. Tak heran jika kedua teman, atau bahkan satu sekolah SMA Angkasa menamainya sebagai King of Street Art.
Edgar berkacak pinggang, bangga.
Tak lama kemudian, ponselnya bordering. Edgar merogoh saku celananya. Dan, tertera nama pemanggil pada layar ponselnya.
Bunda calling...
"Eh, bentar-bentar, nyokap gue," ujar Edgar seraya menjauh dari kedua temannya. "Iya, Bun..."
"Kamu dimana? Bunda tadi jemput kamu di sekolah, tapi kamu gak ada."
"Bunda, ngapain..."
Belum sempat Edgar melanjutkan pembicaraanya, dua orang hansip yang berpatroli di sekitar komplek langsung meneriakkan ketiganya.
Membuat ketiganya panik.
"Bun, I'll call you later."
KLIK.
Ponsel dimatikan.
Edgar menginjak pedal gas dengan kencang, membanting stir ke kanan, lalu pergi keluar dari komplek itu.
"Aman...Aman...," Stefan mengelus dadanya beriringan dengan suara hembusan lega nafasnya.
"Untung aja kita bisa kabur. Kalo nggak, mati kita ditangkep."
"Kita? Lo aja kali gue mah nggak," sahut Edgar.
KAMU SEDANG MEMBACA
A Second Chance
Teen FictionJalanan adalah gallerynya. Hidupnya adalah kanvas. Dia adalah kuas. Dan, Tuhan adalah juri. Yang akan menentukan, bagus atau tidaknya gambar yang ia buat dalam kanvas dan gallerynya. Dan, the best partner in lifenya adalah adiknya sendiri. Tanpa it...