***
Hari kian indah, pagi ditemani sang surya.
Kedamaian yang hilang itu kembali. Senyuman yang hilang itu kembali. Dan, dia yang pergi pun kembali dalam hidupnya.
Edgar merasa hidupnya semakin membaik.
Meski tidak semuanya kembali, tapi yang penting, kini ia bisa menjalani hidupnya dengan ikhlas.
"Kadang, gue ngerasa kalo Leo masih ada disamping gue, Ca."Edgar membelokkan motornya ke kanan, jalan menuju sekolah Angkasa. "Makanya, gue selalu ngebayangin kalo dia masih disini. Ngobrol sama gue."
Caca menatap Edgar dari balik kaca spion motor,"Gak ada yang salah dengan itu. Emang sulit rasanya buat nerima kehilangan. Apalagi satu darah. Gue ngerti."
"Lo emang selalu ngerti, Ca," gumam Edgar seraya tersenyum.
Saat Edgar sedang melajukan motornya diatas kecepatan rata-rata. Dengan tiba-tiba saja ia dihadang oleh beberapa kawanan tak dikenal. Edgar menginjak rem dengan sangat mendadak.
"Gar, kenapa lo –"
Belum sempat Caca bertanya lebih lanjut, ia terdiam saat menyaksikan lima orang tidak dikenal yang mengenakan masker sedang menghadang mereka.
"Gar..." Caca mulai resah dan takut.
"Tenang aja, Ca. Selama ada gue, lo aman," ujar Edgar berusaha menenangkan.
Edgar turun dari motornya.
"Gar, lo mau ngapain? Kita kabur aja dari sini."
"Ssst. Ca, lari gak akan menyelesaikan masalah apa-apa. Satu-satunya jalan, ya dihadapi."
"Tapi, mereka berlima."
Kelima orang tidak dikenal itu mengepung Edgar. Dan, tanpa disangka, satu orang lagi muncul.
Ia menarik Caca dengan paksa lalu menodongnya dengan sebilah pisau.
Edgar yang melihat kejadian itu langsung panik.
"EDGAR!" teriak Caca.
"Kalian siapa? Mau apa? Kalo ada urusan sama gue tolong jangan sakitin dia," ucap Edgar dengan ekspresi wajah yang marah.
Salah seorang yang membekap Caca membuka maskernya.
"Asha?"
Laki-laki bernama Asha itu tertawa,"Gue belom sempet ngabisin lo kemarin. Sekarang, buy one get one."
Caca menangis. Ketakutan.
"Asha, please, jangan libatin dia dalam masalah ini. Urusan lo sama gue," mohon Edgar.
Tanpa disangka, Edgar berlutut. Entahlah, kali ini ekspresinya benar-benar tak dapat digambarkan lagi.
"Gue minta maaf. Untuk semua yang pernah gue buat. Please, bebasin dia. Lo boleh mukul gue, tapi please lepasin Caca," pinta Edgar dengan sangat.
"Oke." Dengan mudahnya, Asha melepaskan cengkramannya pada Caca. "Lo boleh pergi. Tapi, Edgar tetap tinggal."
Caca berjalan menjauhi Asha.
Pandangannya terfokus ke arah Edgar yang masih berlutut dengan dikelilingi orang-orang yang membawa senjata tajam.
"Ca, pergi... Gue gak akan berulah. I promise, im gonna be okay," ujar Edgar meyakinkan.
Caca bingung. Ia tidak tau harus berbuat apa.
Tak lama setelah Asha membebaskannya, Edgar dihajar habis-habisan oleh keenam orang yang menghadang mereka.
Caca berteriak histeris. Saat dengan kedua matanya ia menyaksikan Edgar dipukuli dengan sadis tanpa perasaan.
Dengan cepat, ia teringat akan kedua teman Edgar. Lalu, ia membuka phone book dan segera menelfon Angga dan Stefan.
Pandangannya tak lepas dari Edgar yang hanya diam, tanpa perlawanan. Ia bak pasrah menghadapi apa yang sedang terjadi. Tidak seperti beberapa hari yang lalu saat ia menghadapi Asha dan kawanannya, dengan dipenuhi amarah dan dendam. Kali ini, Edgar sangat berbeda.
Ia tidak melawan sedikit pun saat pukulan-pukulan mentah itu menghajar wajahnya dan beberapa bagian tubuhnya yang lain.
KAMU SEDANG MEMBACA
A Second Chance
Teen FictionJalanan adalah gallerynya. Hidupnya adalah kanvas. Dia adalah kuas. Dan, Tuhan adalah juri. Yang akan menentukan, bagus atau tidaknya gambar yang ia buat dalam kanvas dan gallerynya. Dan, the best partner in lifenya adalah adiknya sendiri. Tanpa it...