Kamis, 9 Maret 2017

112 13 0
                                    

Hujan tak turun hari ini. Namun, dinginnya seakan masih menyelimutiku. Deras hujan hari kemarin membawa serta rindu yang terpendam lama. Membangkitkan kembali sesak yang sempat pilukan dada.

Rinduku memuncak, menggelegar bersama petir. Kilas masa lalu kembali terbayang. Tak juga sirna meski telah termakan usia.

Empat tahun lamanya aku berjuang. Empat tahun lamanya aku menahan diri. Nyatanya secuil rindu di hatiku masih milikmu. Di pojok hatiku masih tertulis namamu.

Aku pernah tak henti berdoa pada Tuhan, agar kelak aku dan kamu dipersatukan dalam ikatan abadi. Takdir punya jalannya sendiri, bukan? Satu setengah tahun aku meraung pada Tuhan, dalam sekejap mata aku dan kamu tak lagi saling menyebut kita. Dalam satu malam, aku dan kamu memaki dengan hebatnya. Dalam satu malam, luka hatiku mengalahkan memar di tanganku. Dalam satu malam, aku ingin kamu menghilang, selamanya, dari hidupku, dari pandanganku.

Setelah itu apa? Tuhan seakan sedang mempermainkan takdirku, takdirmu, hatiku, hatimu.

Kamu merajuk. Mengiba. Meminta ikatan yang putus dirajut kembali. Aku tak bisa. Meski hati menjerit ingin berkata iya. Aku dan kamu tak ditakdirkan menjadi kita, pikirku.

Aku menyakitimu dengan teramat dalam, bukan? Egoku menggebu. Iblis bersarang di hatiku, bisikkan hasrat untuk membalas segala luka di hatiku. Lalu? Puaskah aku? Tertawakah aku melihat air matamu?

TIDAK. Tuhan lagi-lagi permainkanku. Di puncak kebencianmu untukku, Dia tumbuhkan sesal di hatiku. Dia pupuk rindu yang teramat dalam bagiku. Terlalu terlambat untuk meminta maaf, bukan? Terlalu terlambat untuk berjalan mundur, bukan? Terlalu terlambat untuk berharap agar aku dan kamu kembali menjadi kita, bukan?

Aku sempat membenci Tuhan dan takdir yang diciptakan-Nya. Aku membenci garis nasib yang mempertemukan aku dan kamu. Aku membenci garis nasib yang mempersatukan aku dan kamu hanya untuk sesaat. Aku membenci segalanya di dunia sejak hari itu.

Aku tak sanggup berlama di dunia yang sama denganmu. Aku memilih pergi. Mengabaikan segala mimpi yang tersisa. Menutup telinga dari segala cercaan yang ada. Ini demi bahagiamu, yakinku.

Kini, setelah empat tahun berlalu, seakan aku benar-benar tak pernah ada di dunia yang sama denganmu. Kamu dan semua di sekitarmu tak lagi terjangkau olehku. Namaku mungkin tak lagi ada dalam ingatanmu, ingatan mereka.

Tak apa. Aku bahagia hari ini. Setidaknya kupikir, kamu juga bahagia. Keputusanku tak salah, kan?

Berbahagialah, karena beban sepertiku sudah lama berlari meninggalkan duniamu. Berbahagialah, karena di sini ada seseorang yang mengingatmu dalam rindu. Berbahagialah, karena aku dan kamu sudah lama tak menjadi kita.

Surat Tanpa NamaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang