Selamat pagi menjelang siang,
wahai kamu yang tubuhnya semakin subur saja sejak tak lagi bersamaku.
Itukah tanda bahagiamu?
Aku iri,
pada tawa lepas milik kekasihmu kini.
Aku pun dulu pernah begitu, bukan?
Aku iri,
pada cinta yang sepertinya kekasihmu dapatkan dengan melimpah,
dari kamu.
Aku pun sepertinya dulu begitu, bukan?
Apa memang aku tak pernah begitu?
Atau aku saja yang tak cukup tahu diri untuk mensyukuri apa yang saat itu aku miliki?
Aku iri,
pada kekasihmu kini,
yang menemanimu melambung tinggi.
Tidak seperti aku,
yang bersamamu saat susah,
dan menghilang saat terjatuh bersama,
lalu bangkit seorang diri,
dan meninggalkanmu yang masih terpuruk di sana.
Aku iri,
pada diriku di hari ini,
yang kukira telah mampu lebih bijak menilai kamu.
Memahami kita.
Seandainya aku dulu seperti hari ini,
mungkin aku tak akan iri seperti ini.
Seandainya aku dulu tak memilih pergi,
mungkin aku dan kamu tak jadi begini.
Aku bahagia,
jujur saja.
Perpisahan ini membawa aku dan kamu menjadi pribadi yang lebih dari kemarin.
Akui saja.
Tanpa kebersamaan denganmu,
tanpa perpisahan denganmu,
aku tak jadi seperti hari ini.
Terima kasih.
Aku mencintaimu,
dulu.
Sekarang tidak lagi.
Karawang, 4 Mei 2018
11.11
KAMU SEDANG MEMBACA
Surat Tanpa Nama
Non-FictionAkankah kelak kau baca suratku? Mungkin aku terlalu banyak berharap. Bukankah sudahku katakan, kamu yang ku maksud mungkin bukanlah kamu. Aku yang kau kira, tak pasti adalah aku.