Kamu pernah terasa indah. Sungguh.
Pernah aku berharap begitu tinggi akan apa yang ada antara kita. Pernah aku bersujud dalam tangis, berulang mengucap namamu, mengemis pada Tuhan agar kamu dan aku tetap menjadi satu.
Kupikir, aku sudah cukup memantaskan diri untuk bersamamu. Mungkin itu hanya ada dalam pikiranku. Tidak dengan kamu.
Kupikir, kamu mungkin berpikir sudah cukup memantaskan diri untuk bersamaku. Sayangnya, saat itu aku tak merasa begitu.
Banyak orang datang sesuka hati, lalu pergi baik dengan atau tanpa permisi. Aku tak tahu kita yang mana. Apakah yang terjadi hari itu bagimu adalah sebuah 'permisi' untuk saling tak bersapa lagi? Apakah sampai hari ini kamu malah merasa aku pergi tanpa kata?
Sungguh aku tak tahu hingga kini. Mungkin aku memang tak perlu tahu. Cukup bagiku melihat damaimu kini. Bagaimana dengan kamu? Masihkah tersisa bencimu untukku di hatimu yang pernah indah buatku itu?
Kamu pernah terasa indah. Sungguh.
Kamu pernah membuatku menyimpan begitu banyak pengharapan. Kamu tahu itu, aku yakin.
Tapi, Tuhan dengan skenario-Nya tunjukkan jalan lain.
Segala doa dan upaya seakan tiada guna. Aku dan kamu tak digariskan-Nya bersama.
Aku pernah membenci Tuhan. Sungguh.
Apa yang Dia gariskan untukmu juga aku, aku tak mampu menerimanya. Saat itu. Hatiku tercabik. Koyak. Aku merutuk-Nya dan segala takdir-Nya.
Aku berhenti berharap. Tak lagi ingin merajut mimpi yang sama. Kupasrahkan hati pada Sang Pemiliknya.
Untuk apa bermimpi jika akhirnya Dia putuskan jalan lainnya? Untuk apa mengemis penuh harap jika akhirnya tak Dia kabulkan juga segala doa?
Dia mengirimiku 'pengganti' kamu. Padahal seharusnya Dia tahu, tempatmu tak akan terganti.
Maha Besar Dia dengan segala keagungan-Nya. Dia ciptakan ruang baru di hatiku, agar apa yang pernah terjadi antara kamu dan aku tetap memiliki ruangnya tersendiri.
Aku kembali berdoa. Kembali berharap. Namun, tetap berpasrah. Doaku tak lagi sama. Tak pernah lagi sama.
Tak lagi kupaksakan Dia mempersatukan aku dengan pilihan hatiku. Tak lagi kumengemis pada-Nya untuk bahagia bersama pilihan hatiku.
Kusebut namamu dalam doaku. Masih.
Aku ingin bahagia dengan jalanku sendiri. Tak perlu dengan kamu. Tak perlu dengan pilihanku saat itu. Sungguh. Aku hanya ingin bahagia. Itu saja. Dengan siapa pun, bahkan tanpa siapa pun, buat aku bahagia. Cukup.
Tak lagi aku merajuk untuk bahagia bersama. Asal bahagia, berpisah pun tak apa. Begitu pintaku.
Kujalani hari tanpa lagi merutuk-Nya juga takdir yang diciptakan-Nya. Kupasrahkah hati untuk dipermainkan-Nya sesuka yang digariskan-Nya.
Nyatanya, Dia tunjukkan kuasa-Nya. Tanpa perlu merajuk terlalu lama. Tanpa perlu mengemis penuh iba. Tanpa perlu mengharap terlalu dalam. Dia persatukan apa yang ingin disatukan-Nya. Dia kabulkan doa-doa yang pernah terucap.
Aku kini bahagia. Sungguh.
Kuharap kamu juga bahagia.
Kamu pernah indah. Sungguh.
Kamu masih terasa indah.
Jika kelak Dia merubah lagi garis yang Dia ciptakan untukku juga kamu, aku tak mengapa. Jika kelak Dia persatukan lagi apa yang pernah terpisah begitu jauh, aku tak mengapa. Jika kelak Dia pisahkan apa yang kini begitu dekat dan diharap, aku tak mengapa. Jika kelak Dia ambil yang kini aku miliki, apa yang kini kugenggam erat, aku akan coba untuk baik-baik saja. Sungguh.
Aku tak ingin lagi berharap selain kepada-Nya. Aku tak ingin lagi berpasrah selain kepada-Nya.
Kamu pernah indah. Sungguh.
Kamu masih indah.
Tapi, hari ini ada yang lebih indah darimu di mataku. Ada yang lebih sempurna bagiku di hatiku.
Aku tak tahu bagaimana nanti.
Tapi, hari ini aku bahagia dengan pilihan hatiku. Aku bahagia dengan takdir yang Dia gariskan untukku. Sungguh.
Kamu masih indah.
Aku tak berharap untuk tetap indah bagimu. Sungguh.
Meski begitu, kamu masih saja tetap indah.
Selasa, 4 Juli 2017
"Ketika hatimu terlalu berharap kepada seseorang, maka Allah timpakan kepada kamu pedihnya sebuah pengharapan, supaya kamu mengetahui bahwa Allah sangat mencemburui hati yang berharap selain Dia. Maka Allah menghalangimu dari perkara tersebut agar kamu kembali berharap kepada-Nya"
- Imam Syafi'i -
KAMU SEDANG MEMBACA
Surat Tanpa Nama
Non-FictionAkankah kelak kau baca suratku? Mungkin aku terlalu banyak berharap. Bukankah sudahku katakan, kamu yang ku maksud mungkin bukanlah kamu. Aku yang kau kira, tak pasti adalah aku.