Sabtu, 17 Juni 2017

52 6 0
                                    

Untukmu yang pernah kunomorsatukan di atas diriku sendiri.

Untukmu yang pernah menangis bersamaku.

Untukmu yang dulu tampak paling berarti di mataku.

﹏﹏﹏﹏﹏

Dulu, aku pernah meninggalkan segala yang kupunya hanya untuk mengejarmu. Kulepas segala yang mengikatku, untuk menghampirimu, untuk memasuki duniamu.

Aku pernah bercita akan mengubah dunia untukmu. Kuhancurkan dunia yang kumiliki, berangan bisa ciptakan dunia baru di mana aku dan kamu mampu menjadi satu.

Takdir berkata lain, bukan?

Setelah berliter air mata habis terkuras. Setelah beribu tawa mengalir deras. Aku dan kamu akhirnya tidak bersama juga.

Dunia yang kuciptakan di mana di dalamnya ada aku dan kamu, nyatanya tak pernah menjadi dunia hanya untuk kita berdua.

Dunia itu tak cukup untuk menampung lebih dari aku dan kamu, tapi kita tetap memaksa. Akhirnya? Kamu tahu betul bagaimana.

Kalau waktu mampu diulang, aku tak tahu bagaimana dengan kamu, tapi aku, ingin kembali ke masa di mana aku masih dengan duniaku sendiri. Di mana hanya ada aku, tanpa kamu.

Akan kubiarkan aku dan kamu saling mengais puing rindu, namun tetap bersama dalam jarak. Bukan bersatu mencoba padu, lalu luluh lantak.

Aku bahagia mengenalmu, dulu. Kini? Jangan tanya. Aku rindu, terkadang. Aku menyesal, tentu.

Terlalu banyak hal yang kusesali antara kita. Tak bisa kuungkapkan satu demi satu kenangan yang menyayat itu, 'kan?

Aku mencoba bahagia hari ini dengan pilihan hatiku. Aku tahu, begitu pun dengan kamu.

Aku tak bisa menepati janjiku. Mungkin kamu masih ingat itu. Kukatakan dengan penuh pengharapan, aku akan membuatmu bahagia, jadi perisai untuk setiap air mata. Nyatanya? Kamu tahu bagaimana.

Beribu barisan kata ingin kuucap, tapi, tak terucap. Kusisipkan saja namamu di sela doa singkatku. Berharap kamu setidaknya sesaat saja rasakan hal yang sama sepertiku.

Aku rindu.

Dan kuharap kamu pun begitu.

Surat Tanpa NamaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang