Kutulis ini setelah pagi ini ingatan tentangmu kembali susupi pikiranku.
Aku tak merindu, sungguh.
Hanya saja sedikit terbersit tentang apa yang pernah terjadi antara kamu juga aku.
Aku tak lagi sesali setiap jejak yang tertinggal dalam kisah antara kamu dan aku.
Aku sekarang justru bersyukur, karena setidaknya pernah ada kamu dalam ceritaku.
Aku tak merindu, sekali lagi kutegaskan padamu.
Aku sungguh tak merindu.
Hanya saja kilasan-kilasan masa itu sedikit sunggingkan senyum di bibirku.
Aku tak mendendam.
Tidak lagi.
Setelah waktu berlalu tak sebentar, setelah air mata tumpah ruah, luka itu sirna.
Aku hanya mengingat bahagiaku.
Setidaknya aku ingin begitu.
Bersamamu, aku pernah tertawa lepas.
Ingatkah kamu masa itu?
Bersamamu, aku pernah bahagia tak terkira.
Masih tersimpankah cerita itu dalam imajimu?
Aku tidak rindu.
Setidaknya kuharap ini bukan rindu.
Aku hanya bahagia mengingat mawar putih yang pernah kamu sembunyikan di perutmu, lalu kamu berikan tepat di depan gedung dengan atap bertusuk sate itu.
Aku masih saja tersenyum bila ingat malam itu.
Ingatkah kamu, pertengkaran kecil sebelum saat itu?
Aku ingat pertengkaran itu, meski nyatanya aku tak dapat mengingat apa yang kamu dan aku pertengkarkan, meski aku berusaha keras.
Aku pun memang tak perlu mengingat itu, bukan?
Aku tidak rindu.
Setidaknya kuharap ini bukan rindu.
Masih jelas teringat olehku kotak berbentuk hati yang kamu buat dengan berlimpah fotoku.
Air mata tak sanggup terbendung olehku.
Haru. Satu kata itu saja mampu gambarkan segala yang memenuhi hatiku saat itu.
Aku bahagia, menyadari kamu menyimpan hati sedalam itu untukku.
Aku bahagia, mengingat kamu menghabiskan waktumu demi menciptakan kejutan untukku.
Aku tidak sedang berulang tahun, kamu ingat?
Tapi, kamu selalu saja menemukan cara mengejutkanku dengan istimewa.
Membuatku merasa setiap hari adalah hari spesialku.
Setidaknya, begitulah yang ingin kuingat saat ini.
Aku menangis.
Saat tahu permen besar pemberian terakhirmu di buang begitu saja oleh dia yang merapikan kamarku.
Kamu tak perlu bertanya siapa dia.
Toh, kamu pun tak ingin tahu, bukan?
Tidak, dia bukan lelakiku.
Permen itu tak pernah kumakan.
Aku memang tak pernah berniat memakannya.
Aku memang ingin menyimpannya, sebagai pengingat bahwa aku pernah menjadi yang 'manis' dalam hidupmu, begitu pun sebaliknya.
Aku tak merindu.
Setidaknya aku ingin berpikir begitu.
Untuk lelaki di 3 September-ku.
Aku,
yang melukaimu terlalu dalam, menurutmu.
Karawang, 23 Januari 2018
10.59
KAMU SEDANG MEMBACA
Surat Tanpa Nama
Non-FictionAkankah kelak kau baca suratku? Mungkin aku terlalu banyak berharap. Bukankah sudahku katakan, kamu yang ku maksud mungkin bukanlah kamu. Aku yang kau kira, tak pasti adalah aku.