Menjengukmu

8.9K 358 20
                                        

Aku sedang duduk di hadapan komputer yang kurakit sendiri. Komputer yang selama ini menemani untuk membuat karya desain grafis dan video. Bandung sudah larut saat ini, sudah melewati tengah malam. Aku meregangkang punggung yang pegal. Ruangan acak-acakan. Ada bekas cemilan, bungkus nasi goreng, dan gelas berisi setengah air.

Kepala kudongakkan, ada sterofoam menempel di hadapan. Ada alamatmu di sana. Ah, aku jadi ingat kamu. Ingat saat kamu sakit saat itu:

Aku dan Dani baru saja keluar dari swalayan, membeli buah anggur yang sudah dibungkus sedemikian rupa. Aku pilih yang, saat itu bagiku, adalah yang paling mahal. Motor melaju dengan kecepatan sedang.

"Bre, nanti ente nyak nu ngasihkeun anggurna," kataku sambil konsentrasi mengendarai motor.

"Hah?" Dani tak mendengar. Aku mengulangi perkataanku barusan. "Oh, ku ente we..."

"Era urang euy..." ya, aku malu, sejujurnya.

"Nya bae..." Dani setuju.

"Hehehe, nuhun..." aku berterima kasih. Kemudian di kepalaku muncul khayalan-khayalan, bagaimana nanti harus bersikap dan juga bagaimana nanti akan berucap padamu. Menanyai kabar langsung? Atau aku harus menyapa orangtuamu yang sedang menjaga di sana? Ah, nanti di sana ada siapa saja? Pikiranku amuradul. Dani bicara di belakang. Aku tak menghiraukan.

"Belok kiri bre..." Dani menunjukan jalan. Motor berbelok kemudian parkir depan rumah sakit. Sudah ada Nita menunggu di di lobby bersama dua temannya.

"Yuk Ram, Dan, ke ruangan Aisyah nomor dua," Nita menunjukan. Aku mengikuti. Kami berjalan tak begitu jauh, kemudian sampai di tujuan. Di sana, di ruangan itu, baru keluar Fahmi, temanku juga. Ia masih memakai seragam. Konon, itu adalah pacarmu, ya, Ra?

Fahmi bersama temannya, baru saja menjenguk. Mereka menghampiri kami dengan sapaan yang ramah. Dani bercanda sejenak dengan mereka. Teman-teman perempuan yang lain menyoraki Fahmi.

"Cieee... jengukin pacar... gimana kabar Viora?"

"Aga mendingan, katanya kecapean, besok lusa juga pulang," Fahmi tersenyum, kemudian menjawab. Lalu dia pamit meninggalkan kami yang hendak masuk.

Aku hanya berbasa-basi kepadanya, kemudian patah hati, bahwa rumor di sekolah itu adalah benar.

Saat itu siang, kami masuk. Ada kamu sedang berbaring. Teman-teman yang lain masuk dan menyapamu dengan meriah tak terkecuali aku. Dani menanyai kabarmu dengan candaannya yang bisa menghangatkan suasana. Ada lengkung senyum di wajahmu. Aku senang, ternyata senyummu bisa meredakan patah hatiku. Oh ya, ada ibumu juga saat itu sedang berjaga. Kami berkenalan. Ibumu ramah. Katanya, kamu dirawat karena susah minum obat.

"Eh, Ra, ini ada buah-buahan dari Rama.." ujar Dani sambil menyimpan anggur yang kami beli tadi.

"Eh, makasih Dan. Eh, Ram.." katamu saat itu. Aku hanya mengangguk sambil tersenyum dengan menahan agar gigi dan behelku tak kelihatan.

"Oh ya, ini netbook kamu..." kataku sambil merogoh netbook di dalam tas.

"Udah sembuh laptopnya?" kamu nanya.

"Udah...." aku menjawab dengan senyum terbaikku. Ingin rasanya saat itu aku bilang bahwa netbooknya sudah sembuh, tinggal kamunya yang sembuh. Namun tak cukup nyali untuk mengungkapkannya. Ah!

Netbook hari itu diterima oleh ibu. Siang yang singkat, namun aku merasa senang bisa melihatmu senyum dan membaik. Ada rasa ingin menyimpan netbookmu lebih lama, agar aku bisa bertemu lagi denganmu. Teman-teman bercandaria. Aku hanya ikut senyum, tertawa dan juga mencuri pandang pada senyummu. Kamu tetap cantik walau tanpa riasan di wajah sana.

***

Desain sedikit lagi selesai. Aku butuh hiburan. Kubuka youtube, kuputar instrument favoriteku: akustik dari depape. Suara gitar melantun. Bulan depan sidang tugas akhir. Desain di hadapan nyaris beres. Kenangan di kepala makin merembes. Ah, malam, bersama kenangan-kenangan indah tentang senyummu, aku ingin kamu.

Aku Bukan DilanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang