Dua Persen

2K 89 4
                                    

Kelas pagi ini akan diawali oleh pelajaran yang cukup menyegarkan: Matematika. Pelajaran yang masih kerabat dekat dengan fisika dan kimia. Oh ya, Fisika dan Kimia di sekolahku sudah jelas adik kakaknya. Maksudku, itu karena guru kedua pelajaran itu adalah adik kakak asli. Dan sama-sama bikin mudeng.

Aku sendiri sejujurnya kurang menyukai pelajaran itu, namun mau bagaimana lagi, aku sudah terlanjur masuk jurusan IPA. Gara-gara dulu ada yang bilang kalau masuk jurusan IPA nanti kuliahnya gampang, bisa ke jurusan apa saja. Padahal, kuliah dan kerja adalah sesuatu kenikmatan apabila itu sesuai passion. Maka, tak apa kiranya sekarang aku salah jurusan, asal nanti kuliah aku masuk ke jurusan yang aku inginkan. Aku ingin jadi animator, mungkin nanti aku akan masuk jurusan animasi atau jurusan yang mendekati itu, jurusan desain.

Sama halnya seperti Dani dan Nita, mereka berdua sama tertariknya dengan dunia desain. Tak heran, mereka selalu jadi seksi dekorasi di setiap acara yang diadakan oleh OSIS. Namun, ya itu dia, kami masuk ke jurusan IPA karena pertimbangan yang sama. Bedanya aku dan mereka berdua, mereka menurutku lebih jago dariku dalam bidang membuat gambar menggunakan tangan. Freehand.

Seperti pagi yang lainnya, aku masuk ke kelas dengan biasa saja. Dengan harapan yang sama, dengan sesuatu yang lebih banyak tak menariknya. Namun tidak dengan pagi ini, Dani datang dengan senyumnya yang mentereng. Ada Akbar juga di kelas sudah menunggu lebih dulu.

"Omat nya bre, siang kita latihan..." sapanya, sambil salaman.

"Sip Bay..." jawabku.

"Mantan!" tambah Dani. Itu maksudnya mantap, namun dia pelesetkan.

Aku duduk di kursi. Dani juga duduk di sebelahku membawa minuman mineral.

"Tadi urang panggih Vio, bre..." bisik Dani, bagi yang tidak tahu artinya, itu adalah Dani yang bilang kalau dia tadi bertemu dengan Vio.

"Wah?" aku merespon dengan spontan.

"Enya, berangkat sekolah, tapi sendirian..." mendengar itu, aku mengerutkan dahi, "gak tahu tah si Fahminya ke mana..." lanjutnya seolah dia tahu apa maksud kerutan di dahiku.

Kelas mulai ramai, ada yang nyanyi lagu peterpan sambil memukul bangku. Ada yang tertawa lepas, juga ada yang sedang makan gorengan. Dan aku, kau tahu sendiri, sedang ngobrol berhadapan. Sekarang dani pindah ke bangku depanku, kami jadi behadapan.

"Mudah-mudahan putus nya..."

"hahaha..." aku ketawa.

"Tapi da gini bre, saya baca artikel, bahwa hanya dua persen pasangan yang menikah dengan teman SMA nya..."

"Terus?" aku penasaran.

"Jadi, kalau mereka putus, ya wajar, karena kemungkinan berjodohnya hanya dua persen..."

"Ah tong ngadoakeun putus..."

"Tapi berharap kan?"

"hahaha..." aku ketawa, "pantesan ente putus, Dan...haha" lanjutku, tawaku makin pecah, Dani juga.

"Hahaha, heueuh bener... haha"

"Mantan! Haha" aku mengacungkan jempolku.

Kemudian bel berbunyi bersamaan dengan Bu Iis, guru Matematika masuk ke ruangan kelasku. Semua siswa berhamburan kembali ke tempat duduknya masing-masing, termasuk Dani. Aku duduk dengan rapi. Sekarang aku menjadi memikirkan peluang yang makin menipis untuk mendapatkan Viora.

Hanya dua persen. Aku menghela napas. Setidaknya masih ada harapan. Aku melihat Akbar di samping kananku, aku jadi ingat kalau kedua orangtuanya adalah teman sejak dari SMA. Ya, ada harapan, walau hanya dua persen.

Bu Iis duduk, semua siswa juga sudah duduk dengan rapi. Masih ada yang bercakap. Suara bola basket terdengar berdentum menghantam lapangan, siswa kelas sebelah sedang berolahraga.


Aku Bukan DilanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang