"Eh, Ra?" aku kaget, terlihat wajahku memerah saat itu. Kamu tersenyum lebar.
"Makasih ya netbooknya udah dibenerin..."
"Oh ya, sama-sama..."
"Ini... " katamu, sambil menyodorkan uang. Entah berapa.
"Eh? Gak usah Ra... aku ikhlas ko benerin netbooknya..." kataku pelan, sambil menahan diri yang salah tingkah. Ada Dani menghampiri.
"Eh, ini, buat ganti ongkos... maaf baru sempet sekarang," kamu agak memaksa dengan suara yang lembut di telinga.
"Gak usah..." aku senyum sambil menggelengkan kepala.
"Makasih Ra..." Dani dengan polosnya mengambil uang yang disodorkan olehmu, kemudian berlalu meninggalkan kita berdua. Aku saat itu bingung harus bagaimana. Saat bel berbunyi, tanda masuk, kamu ketawa melihat tingkah sahabatku yang satu itu.
"Makasih ya..." katamu, kemudian berlalu meninggalkanku yang terpaku di depan kelas kemudian berlari menemui Dani.
"Heh bre! Ngerakeun!" kataku, sambil menegur. Ngerakeun itu bahasa sunda, artinya: malu-maluin!
"Eh, lumayan, Bre, buat jajan cimol..." kata Dani sambil duduk di bangkuku. "kamu teh, jangan nolak pemberian orang Ram, apa lagi dari si Vio... lumayan... nih..." Dani memasukan uang itu ke dalam saku seragam. "buat kenang-kenangan..." lanjutnya, sambil senyum.
***
Uang itu, lima puluh ribu lembar itu, saat pulang sekolah aku menatapnya dengan antusias. Kucium baunya yang sebenarnya sama saja dengan uang lainnya, namun bagaimana pun itulah uang darimu yang pernah digenggam oleh tanganmu. Ada sejarah, ialah saksi bisunya, bahwa kita pernah berdiri di depan kelas yang sama. Bila saja hari ini aku mengingat itu dan seolah sedang menjadi fotografer yang mengabadikan moment tersebut, maka akan bagus bila ada backlight di belakangnya dan hanya ada siluet kita berdua berhadapan. Cekrek!Kemudian siluet dirusak dengan datangnya Dani. Haha. Hari itu, aku jadi tahu, bahwa ternyata, kamu tak lebih tinggi dariku. Aku lebih tinggi beberapa centi walau bila dibanding Dani masih kalah tinggi.
Kalaulah aku dianggap lebay dengan semua ini, maka biarlah bila kemudian ada uang dalam figura yang kusimpan di kamar. Tersimpan rapi dengan alamatmu di bawahnya. Alamat yang kudapat hasil melihat profil dalam rapot. Aku juga tahu nama ayahmu, Ra. Seolah bahwa, suatu saat aku akan mengirim paket ke rumahmu, atau datang langsung ke sana sebagai manusia yang memang harus ke sana.
***
Malam ini, bersama sunyi di Bandung yang bagus dan perut yang lapar. Dalam rumah kontrakan dengan kamar yang tak begitu luas, aku sedang menulis di depan laptop untuk kemudian memostingnya di tumblr yang sudah sejak lama aku buat untuk menuliskan isi hati, tentangku padamu.Akun tumblr yang kubuat semenjak semester awal kuliah tersebab oleh surat-surat yang kutulis dulu yang bisa saja dibaca orang, terbuang, atau rusak. Aku menuruti kata Dani: membuat akun pribadi ini. Akun yang entah berapa banyak postingan berisikan bagaimana aku padamu. Saat surat pertama yang kukirim padamu, saat chat yang kusimpan dalam file screenshoot, atau saat ketika aku benar-benar rindu namun tak berdaya untuk bersua. Kamu tahu bagaimana isinya? Mudah-mudahan, bila waktunya tepat, kamu bisa tahu.
[Semangat, Ra! hehe] komentarku untuk storynya yang sedang sibuk.
[Makasih, Ram... ] balasmu.
Depan komputer malam ini, bersama dengan smartphone di genggaman yang berisi notifikasi balasan pesanmu di instagram, aku sedang tersenyum, tersipu malu, kemudian berpikir, dengan kalimat apa aku harus membalas agar chatku tak lekas tuntas.
KAMU SEDANG MEMBACA
Aku Bukan Dilan
RomanceDear Viora, aku tahu, aku bukan Dilan yang bisa mengungkapkan perasaannya dengan terang-terangan. Mungkin tak seberani Dilan, tapi biarlah, setiap orang punya caranya sendiri untuk mencintai, bukan?