Ibu sedang memasak memersiapkan makanan. Olahan dari apa yang tadi kami belanja ke pasar beserta ikan yang baru ditangkap dari kolam ikan di depan. Aku sudah bilang padanya bahwa akan ada teman-teman yang akan menginap malam ini. Dan ibu selalu begitu, menyambutnya dengan suka hati.
Ada adik di kamar sedang memainkan laptopnya. Ada teteh juga yang bila sedang di rumah, ia membuka kerudungnya. Sore itu cuaca sedang bagus dengan banyak hal berdendang di kepala dan telinga. Suara depapepe memeriahkan ruangan kamarku, menjadi backsoundku yang sedang mengetik di blog pribadi yang berisi banyak hal yang hanya kukonsumsi sendiri.
Ada suara notifikasi handphone bersautan, membuyarkanku yang sedang mengetik. Saved and posted. Kemudian aku membuka handphone dan kutemukan sms dari teman-teman yang menanyakan alamat rumahku. Dulu itu, masih jamannya sms dengan pulsa yang ada promo: mendapatkan sms gratis setelah mengirim dua sms. Jangan bayangkan dengan grup whatsapp atau line yang dengan mudah membuat grup chat di sana sehingga ramai dengan notifikasi. Waktu aku SMA itu, aplikasi macam itu sudah ada namun belum populer seperti sekarang, harga kuota belum semurah hari ini.
"Dari pom bensin ke mana lagi Ram?" Akbar menelepon, dia sudah bersama Azis dan Fahmi, membawa motor masing-masing.
"Lurus aja, ada di kanan, nanti saya ke depan, nunggu," sahutku.
"Oke... tunggu..." Akbar menutup teleponnya.
Dengan mengenakan celana pendek, aku turun dari kamarku di lantai dua kemudian menuju pintu keluar dan berjalan menuju gerbang yang berjarak belasan meter dari rumah. Memang halaman rumahku cukup luas, dengan ada tanaman di pinggirnya dan kolam ikan di sebelah kanan rumah. Halaman yang luas itu, kira-kira cukup untuk masuk beberapa mobil.
Aku membuka gerbang berwarna hitam itu, dan menuju ke luar, menunggu di pinggir jalan yang saat itu cukup lenggang untuk ukuran malam Minggu. Hanya ada beberapa motor melintas dan angkot. Eh, ada juga deh mobil seribu umat yang lewat dengan kecepatan sedang. Ada juga ibu-ibu di seberang yang belok kiri dengan lampu sein kanan yang berkedip-kedip. Oh.
Kulihat dari jauh ada Akbar dan kawan-kawan melajukan motornya pelan. Aku melambaikan tangan, mereka melihatku untuk kemudian menjalankan motornya dengan lebih cepat. Kulihat masing-masing dari mereka membawa tas di punggungnya. Azis menaiki motor tiger, Fahmi dengan matiknya, dan Akbar menaiki motor buatan India. Duh, motor india, aku jadi ingat film india, ingat Katrina Keif, ingat si Dani juga yang senang dengan film india. Oh ya, Dani belum terlihat batang hidungnya sore itu, kecuali ada sms bahwa dia akan datang telat ke rumahku karena tidak ada motor katanya, jadi dia sedang mencari motor pinjaman atau tumpangan untuk ke sini. Dan satu lagi, Faisal, sepertinya dia juga akan telat datang karena dialah yang akan sedikit memutar jalan karena menjadi tumpangan untuk Dani.
Tak beberapa lama, Akbar, Azis dan Fahmi sudah berada depan rumah.
"Alhamdulillah nepi oge, Bis...." Ujar Fahmi sambil memasukan motornya ke halaman diikuti yang lainnya. Sementara yang lain memarkir motor, aku menutup gerbang untuk kemudian menghampiri mereka.
Satu persatu kusambut dengan salaman dan sedikit berbasa-basi.
"Kumaha, jalanna lancar?" itulah pertanyaan yang muncul dari mulutku.
"Alhamdulillah Ram, lancar..." jawab Akbar.
"Tapi tah tadi si Fahmi mah nyasar heula, Bis, haha kalakah kukurilingan...." tambah Azis, dia memanggilku Bis, dengan maksud mengikuti mereka di sekolah yang memanggilku Bisma. Oh ya, arti dari perkataan Azis itu adalah bahwa Fahmi tadi nyasar dan malah muter-muter me ncari alamat.
"haha, jadina we jajan heula baso nya Zis? Ngeunah..." tambah Fahmi lagi. Kami ketawa.
Satu persatu melangkah mengikutiku untuk masuk ke rumah. Helm mereka jinjing, sepatu dibuka di depan rumah dan disimpan di rak sepatu yang sudah tersedia.
"Assalamualaikum...." Akbar masuk dan mengucapkan salam, diikuti oleh yang lainnya.
"Walaikumsalam..." Ibu menyambut dengan menjawab salam, senyumnya melebar. Masing-masing dari kami menyalami.
"Damang bu?" tanya Akbar.
"Alhamdulillah... siapa aja ini?" tanya ibu, satu persatu memperkenalkan diri. "Dua lagi mana? Katanya belima," lanjut ibu.
"Oh Dani dan Faisal nyusul bu, mungkin sudah magrib ke sininya," jawab Akbar.
"Oh ya atuh, silakan ke atas aja, istirahat, ibu mau lanjut masak..."
"Oh iya bu..." jawab Fahmi, dibarengi yang lainnya. Aku mengajak mereka untuk naik ke lantai dua, menuju kamar.
***
Sejujurnya, ketika aku melihat Fahmi, langsung terbayang wajah Viora. Atau ketika melihat Akbar, langsung terbayang wajah Nisa, pacarnya. Seolah, yang pacaran itu menjadi identik dengan satu sama lain. Hmm. Jadinya banyak hal di kepala masuk, dan kemudian aku berusaha untuk tak memikirkan itu dan malah jadi kepikiran. Semakin berusaha dilupakan semakin tak bisa dilupakan. Ah, sudahlah.
Oh ya, aku belum memberitahu bagaimana ciri-ciri mereka itu ya. Jadi, Akbar itu tingginya sepantar denganku dengan kulit agak hitam—atau lebih tepatnya berwarna putih tua. Mungkin karena sering panas-panasan.
Kalau Azis, wajahnya mirip dengan vokalis Hijau Daun yang saat itu sempat booming. Dengan postur yang tinggi, senang futsal, dan apa lagi ya. Ya begitu pokoknya. Dan Fahmi, dia sepantar denganku dengan sedikit lebih tinggi, berkulit putih dan sering becanda namun serius. Agak bodor pokoknya. Ada beberapa yang memang menurutku mirip artis, bukan karena berlebihan atau bagaimana, itu memang kenyataannya, dan aku hanya ingin membuat siapa yang membaca bisa lebih membayangkan bagaimana wajah mereka. Dan untuk Fahmi dan Akbar aku belum menemukan artis yang mirip dengan mereka, termasuk untuk Dani, belum kutemukan artis yang mirip dengannya kecuali ada pemain sepakbola, pemain belakang yang pernah membela Persib, dan aku lupa lagi namanya. haha.
***
Di kamar, Azis merebahkan badannya di kasur Akbar duduk pinnggirnya sementara Fahmi duduk di kursi komputer. Aku baru masuk lagi setelah tadi dari bawah, membawakan mereka dua toples keripik dan minuman yang disambut baik.Fahmi mengklik komputer, komputer menyala. Aku baru ingat ada blog yang masih log in di sana.
"Eh, Mi, punten," aku menyelanya sambil tersenyum. Kemudian dengan segera bergegas mengclose browser dengan agak panik.
"Naon, ente keur buka situs porno? Meni panik haha" Kata Fahmi melihatku yang panik.
"haha, lain, ieu restart heula, meh teu ngelag..." jawabku. Itu artinya: bukan, ini restart dulu, biar gak ngelag.
Wajahku saat itu agak memerah dan dadaku berdetak lebih cepat karena aku takut blog pribadiku ketahuan. Dan baiknya, saat itu hariku terselamatkan.
"Silakan dicicipi kripiknya..." aku mengalihkan.
***
Adzan berkumandang dari speaker masjid, Akbar sedang mengambil wudlu. Hapeku berbunyi, Dani dan Faisal sudah ada di depan gerbang. Aku bergegas turun menuju sana. Kucium bau masakan ibu, cukup membuatku lapar.
lanjut di bab selanjutnya...

KAMU SEDANG MEMBACA
Aku Bukan Dilan
RomansaDear Viora, aku tahu, aku bukan Dilan yang bisa mengungkapkan perasaannya dengan terang-terangan. Mungkin tak seberani Dilan, tapi biarlah, setiap orang punya caranya sendiri untuk mencintai, bukan?