Apa hal yang membuatku semangat untuk datang lebih pagi ke sekolah? Bila jawabanmu adalah agar aku bisa melihatmu, maka itu adalah jawaban yang tepat.
Maka, inilah paginya, yang aku sudah ada di kelas bersama teman-teman yang lain. Letaknya di lantai dua. Tadinya aku ingin ke depan kelas untuk melihat banyaknya orang masuk ke kelasnya masing-masing, dan tentunya berharap bisa menemukanmu. Katanya, kamu sudah sehat dan sudah kembali bersekolah. Kali ini, aku merasa senang, ada senyum melengkung di wajahku dengan ditutupi oleh pergelangan tangan yang disandarkan pada besi penyangga. Bagaimana aku tak senang? Sementara aku melihat dirimu berjalan dengan wajah berseri dengan senyum dan sedikit tawa kala bercanda dengan teman di sebelahmu. Ada senyum yang menular di sana. Aku jadi senyum. Mataku terus mengikutimu untuk kemudian aku terganggu karena ada teman yang menyapa.
"Ram, ini ada titipan surat dari Dani, katanya dia sakit," Ilman menyodorkan surat beramplot putih padaku.
"Eh, kunaon?" aku nanya kenapa.
"Itu katanya, demam, tolong sampein suratnya ke guru ya. Yuk ah Ram," jawab Ilman, kemudian kembali berlalu. Ilman itu teman beda kelas, tetanggaan dengan Dani, tak heran bila dia jadi informan bila ada hal yang terjadi dengan Dani.
Aku memegang surat itu dan membolak-balikkannya. Bel tanda masuk berbunyi. Siswa-siswi berhamburan masuk kelas, termasuk aku. Namun, sebelum itu, aku alihkan pandanganku menuju tempat kumenemukanmu: kamu sudah berlalu.
Aku masuk kelas dengan berjalan santai.
"Kaghebunshino jutsu!" Ada teman yang sedang main naruto-narutoan, kedua tangannya disilangkan seperti saat naruto melakukan jurus seribu bayangan. Ada juga di seberangnya yang sedang melakukan jurus lain. Aku duduk ke bangkuku, menuju ke dunia nyata. Sementara dua temanku, sedang berada di 'dunianya'. Dunia imajinasi, penuh khayalan.
"Ih gandeng! Jiga budak leutik!" Nita menegur dengan aga keras. Rambutnya dikucir saat itu, dengan tahi lalat di daerah pipi, berwajah garang dengan kulit putih tua itu, cukup untuk mengembalikan dua temanku kembali ke dunia nyatanya. Teguran Nita itu artinya: ih berisik! Kaya anak kecil aja!
Tahun itu, memang, anime naruto sedang ramai-ramainya. Terutama komiknya. Bila ada yang baru, kami akan menukar dan bergiliran untuk membaca. Pernah suatu hari, komik naruto chapter 29 belum keluar saat itu. Masih awal-awal Naruto Shipuden, yang sudah menginjak dewasa begitu. Aku bilang ke Dani bahwa chapter 29 sudah keluar. Namun Dani memang begitu, dia gak percaya.
"Sok, lamun aya kumaha?" itu aku menantang Dani, kalau ada, mau gimana?
"Mun aya, urang bakal mencetan ente, bre!" itu Dani menyanggupi bahwa bila ada, dia akan memijitiku. Kalau tidak ada ya sebaliknya.
Maka aku menyanggupi waktu itu, untuk menerima tantangannya. Kenapa menyanggupi? Karena adikku di rumah sudah punya komik itu, yang di SMAku entah kenapa belum ada. Maka besok harinya, aku akan datang ke sekolah dengan membawa komik Naruto itu di dalam tas dan menunjukannya saat bertemu dengan Dani. Langsung!
Kamu harus tahu bagaimana ekspresi Dani saat mendapati dia kalah dalam bertaruh. Aku tertawa puas, dia hanya cengengesan sambil basa-basi.
"hehe, minjem ya nanti istirahat..." kata Dani, pelan.
"Beres mijitin... hahaha"
"Hahaha..."
Ah, Dani, malah dia hari ini sakit. Entah kenapa kelas menjadi kurang seru, Nita juga nanyain tentang Dani kepadaku, aku jawab bahwa dia sakit. Dan kami berencana menjenguknya pulang sekolah. Pikiranku melamun pada saat Dani memijitiku di suatu istirahat pasca kekalahannya dalam taruhan. Membuatku ingin dipijit lagi. Ah, kali ini dia yang lebih butuh untuk itu.
Guru mengucapkan salam sambil masuk ke kelas. Wajahnya dihiasi senyuman optimisme, kemudian duduk di kursinya. Ketua kelas memersiapkan untuk berdoa terlebih dulu. Kelas menjadi hening, begitu juga kelas yang lain, hanya terdengar guru yang sedang mengajar, sesekali terdengar tawa yang pecah.
Ketika berdoa beres, aku maju, menyodorkan surat dari Dani dan sedikir bercakap. Bu Guru membukanya untuk dibaca, kumudian dia mengangguk-ngangguk. Hari itu pelajaran Matematika, gurunya Bu Amalia. Selain guru, beliau juga wali kelas kami.
Bagaimana dengan matematika hari itu? Aku sempat merasa tak berguna untuk belajar menghitung angka dan huruf yang saat itu aku berpikir bahwa angka-angka itu tak akan terpakai saat di kehidupan nyata. Saat jajan atau belanja. Namun, ah, matematika, jauh dari itu, ia mengasah daya logika. Namun begitulah nyatanya, aku tak bisa maka aku tak menyukainya walau sudah berusaha.
Bagaimana denganmu mengenai matematika? Berbeda denganku, kamulah ahlinya...
KAMU SEDANG MEMBACA
Aku Bukan Dilan
Roman d'amourDear Viora, aku tahu, aku bukan Dilan yang bisa mengungkapkan perasaannya dengan terang-terangan. Mungkin tak seberani Dilan, tapi biarlah, setiap orang punya caranya sendiri untuk mencintai, bukan?