Fisika

3.9K 167 7
                                    


Senin bagiku adalah singkatan dari kamu yang Selalu Nampak Indah. Bila yang lain boleh membenci Senin, aku ingin menjadi pengecualian. Aku menyukainya, karena bisa melihatmu di sekolah, saat upacara.

Upacara hampir selesai. Di penghujung itu, ada pengumuman dari pembina upacara, selanjutnya ada pengumuman dari Pak Barkah. Yaitu pengumuman juara kelas terbersih, terkreatif—acara yang dilakukan setiap sebulan sekali, untuk menambah semangat agar lingkungan sekolah tetap bersih. Saat itu kelasku menjadi juaranya dan salah satu perwakilan dipanggil untuk menerima piala. Dani berbisik kepada Akbar selaku ketua kelas, kemudian Akbar menatapku.

"Maju, Ram!" suruh Akbar. Aku diam meragu, bingung.

"Maju, bre!" itu, Dani menyuruh. Sejujurnya aku malu, namun kemudian aku maju didorong oleh Dani. Wajahku agak memerah saat itu.
"A Bismaaa...." ada yang teriak, suara dari siswi di seberang. Kata Si Dani dan teman sekelas katanya aku mirip dengan Bisma Smash, yang saat itu memang sedang naik daun.

Namun, dari segala teriakan, semua tak kuhiraukan, aku hanya maju ke sana. Akbar juga jadinya maju mewakili kelas. Aku berdiri di sana bersama perwakilan kelas yang lain. Akhirnya keinginanku untuk maju saat upacara tercapai juga, komplit dengan mengangkat piala, penghargaan dan foto bersama. Aku melihatmu di sana melihatku.

Ketika bubar barisan, kami membondong piala itu ke kelas. Dani menghampiri.

"Oh gitu ya rasanya maju ke depan..." kataku lirih.

"Kumaha?"

"Degdegan.. tapi asyik haha," aku ketawa.

"Mantap, kan?"

"Uyuhan lah..." nah, untuk kata uyuhan ini, sejujurnya aku bingung untuk menerjemahkannya ke dalam bahasa Indonesia. Mungkin ini semacam dengan kata lumayan. Aku duduk di bangku. Pelajaran saat itu belum dimulai.

"Bis... bisa pang benerkeun hape urang teu? Ieu rusak..." itu Doni yang menghampiri menyodorkan handphonenya yang rusak, dan meminta untuk dibetulkan. Memanggilku dengan panggilan Bisma gara-gara boyband itu.

"Ruksak naonna?" aku menanyai balik. Menanyakan apa kerusakannya sambil melihat handphonenya.

"Ngehank..."

"Wah, hape mah kurang apal Don eum..." aku menyerah karena memang tidak bisa dan juga beresiko.

"Oh nya atuh, nuhun..." Doni mengambil kembali hapenya, kemudian berlalu.

Sekarang ada Akbar yang datang menghampiri. Aku sudah curiga bahwa dia juga punya elektronik yang rusak dan ingin membetulkan juga.

"Ram, saya dan Dani mau ngobrol yeuh..." itu kata Akbar menghampiri, Dani duduk di belakang. Kami membentuk segitiga begitu.

"Kunaon Bar? Ruksak laptop?" aku nanya dengan polos. Dani dan Akbar ketawa.

"Haha, lain..." Dani menyangkal, "Sok Bar, teruskeun..."

"Jadi gini Ram, kan bulan depan ada lomba nasyid di sini, nah setelah ngobrol sama Dani, kami pertimbangkan kalau ente dipilih sebagai salah satu personil mewakili kelas kita.... bisa teu?"

"Kela, naha bet milih saya?" itu saya yang sedang heran mendengar pertanyaan itu. Artinya, kenapa memilih saya?

"Ya, bakal seru, pan ente bisa main gitar, ditambah banyak fans, adik kelas, mun tampil, bakal banyak nu suka... A Bismaa... A Bismaaaa...." itu kata si Dani sambil menyepertikan adik kelas siswi yang teriak-teriak saat aku lewat di lorong kelas.

Selama seminggu ini, aku sering dipanggil begitu oleh adik kelas. Konon katanya aku mirip dengan Bisma, dari mulai bentuk muka, postur hingga gigi yang berbehel. Ada rasa senang bisa dikenal namun ada rasa sedih juga, karena orang jadi lebih mengenal Bisma dari pada nama asliku, jadi lebih dianggap ganteng sebagai orang lain bukan menjadi diri sendiri.

"Kumaha nyaa..." aku mempertimbangkan. Karena sejujurnya aku tak bisa menyanyi sedangkan nasyid itu, seni lagu islami itu adalah seni yang mengharuskan mengeluarkan suara dari mulut. Apalagi aku tahu, nanti tampilnya akan acapella, hanya suara mulut tanpa alat musik.

"Ayo, Ram... kumaha?" Dani nanya. Saat aku melihat ke arah Dani, dia menyebut namamu—tanpa suara. I got it.

"Boleh lah..." jawabku, pelan.

"Nah, kitu... selamat bergabung..." Akbar menyodorkan tangan, kami bersalaman. Dani juga.

"Pulang sekolah kita kumpul dulu di sini ya...." lanjut Akbar.

Bel berbunyi, aku mengokehkan. Akbar kembali ketempat duduknya. Dani menepuk pundakku dan memberikan jempolnya disertai senyum yang menyeringai dari wajahnya. Aku hanya mengangguk. Dasar Dani, dia selalu punya cara agar aku bisa lebih maju. 

Guru sudah masuk tepat waktu, saat itu Pelajaran Fisika, dan hari itu adalah hari yang cukup panjang karena diisi dengan banyak hitungan.

Ketika pelajaran dimulai, semua orang tertuju pada Pak Fahri, termasuk aku. Pak Fahri guru yang asyik, namun cukup galak. Dari sekian banyak hal yang disampaikan, yang paling kuingat adalah tentang hukum newton bahwa aksi sama dengan reaksi. Aku jadi ingat kamu, jadi ingat bahwa aksiku akan berbanding lurus dengan reaksimu. Jadinya aku menatap Dani di belakang.

"Naon?" Dani nanya, bingung dia melihatku yang senyum dan menengoknya.

"Nuhun..." kataku pelan. Kulihat dia makin bingung, terlihat dari mimiknya yang berubah. Aku ketwa tanpa suara dan kembali menatap pesona Pak Fahri yang sedang memaparkan rumus Fisika di depan bor yang sekarang sudah penuh dengan huruf dan angka.

"Minggu depan kita ulangan..." kata Pak Fahri tiba-tiba.

"Haaaa?" itu suara para siswa yang kaget, ada yang protes juga. Pak Fahri hanya senyum, tak ada kompromi.

Aku Bukan DilanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang