2(Chavali Adeeva Harsa)

385 29 0
                                    

Hari yang sangat melelahkan dan menghawatirkan untuk kesehatan jantung. Siapa yang tidak memiliki debar saat menerima hasil Ujian Nasional? Pasti semua merasakan debaran hebat itu.

Namun, semua itu berakhir saat aku mengetahui nilaiku yang baik dan sangat memuaskan. Tahukah kalian di hari ini juga pendaftaran ke jenjang pendidikan yang lebih tinggi dibuka, SMA.

Sangat menyedihkan, saat aku harus mendaftar ke SMA itu seorang diri. Bukan karena reputasi SMA-nya yang jelek sehingga tidak ada seorangpun temanku yang mendaftar, justru SMA ini adalah SMA yang terbaik. Ini karena aku yang memang tidak terlalu akrab dengan teman-temanku sewaktu SMP. Yang perlu kalian ketahui adalah seorang Vasa dengan perilaku kurang baik dan tidak banyak memiliki teman.

Aku benci suasana baru yang memerlukan adanya penyesuaian lagi. Tapi apa yang bisa kulakukan? Tentunya menjalani dan menghadapinya.

Aku berada diantara ribuan siswa SMP dari berbagai daerah, ramai sekali. Dan mirisnya, aku hanya sendiri, siapa yang dapat kuajak bicara?

Sahabatku sewaktu SMP mendaftar di SMA yang berbeda denganku, ah sudahlah, kita memang beda tujuan, tidak baik bukan bila dipaksakan? Jadi, meskipun kita semua jauh, setidaknya kita masih bisa menjaga kesolidaritasan.

Detik berikutnya, telingaku menangkap suara kakak kelas yang memberi instruksi kepada calon peserta didik baru untuk memasuki ruang kelas. Dan aku? Hanya berjalan sesuai apa yang diperintahkan.

Diam sambil terus mengisi formulir dan syarat-syarat mendaftar di SMA Kiranaginata, itu yang hanya kulakukan di ruang kelas ini. teman yang sebangku denganku saja sejak tadi hanya diam, jadi, aku juga tidak akan mengajaknya berbicara.

Sampai di lembaran terakhir, dan rasanya aku ingin pergi keluar saja, mungkinkah ini sudah ditakdirkan? Persyaratan terakhir yaitu mengisi nomor telepon yang dapat dihubungi, tapi apa yang bisa kulakukan. Aku sama sekali tidak hafal nomor telepon siapapun, ibuku, ayahku, bahkan nomor teleponku sendiri aku tidak menghafalnya. Dan pada saat itu juga aku tidak membawa hp, mati saja!

Kucoba tanya dengan teman yang dulunya pernah sekelas denganku, mencoba meminta bantuan. Takdir, malang nasibku, dewi fortuna tidak berpihak padaku. Mereka semua tidak ada yang membawa hp dan mereka tidak memiliki nomor telepon cadangan.

Saat siswa satu persatu dipanggil kedepan untuk menyerahkan formulirnya, aku bisa apa? Aku melangkahkan kakiku kedepan, dihadapan banyak siswa dan di depan meja guru. Aku menyerahkan formulirku dan berkata jujur.

"Bu, maaf, nomor teleponnya belum saya isi karena saya tidak menghafalnnya." Sudahlah, masa bodoh dengan rasa malu.

"gimana ya..." Ibu itu tampak berpikir, kemudian melanjutkan bicaranya "gak ada yang dihafal sama sekali?" dan aku hanya menggelengkan kepala penuh kepasrahan.

Seorang bapak-bapak yang duduk disamping ibu-ibu yang kutanyai tadi sedikit berbincang, jelas aku mendengarnya.

"Nilainya berapa, Bu?"

"37 Pak."

"Bagus, yasudah."

Bapak itu tampak melihat kearahku "Yasudah tidak apa-apa, tapi nanti saat melihat jurnal sekolah, nomor teleponnya harap diberikan ke panitia." Dan aku mengangguk dan mengiyakan kata bapak itu. lega, itu yang kurasakan.

Aku berlari keluar ruangan dengan segera. Takdir yang kedua, takdir yang baik, karena aku tidak perlu menyerahkan nomor telepon yang dapat dihubungi ke panitia, karena kakak sepupuku ada disana. Aku menghampirinya dan menceritakan semua yang terjadi dan semua yang kualami.

Ia malah terkikik geli sambil mencibir, "bodoh, cepat tulis!"

Aku mencatatnya dengan cepat, lalu hendak kembali masuk keruang kelas yang tadi. Namun langkahku saja terlihat ragu, aku tidak yakin.

KULACINOTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang