30) Runyam

28 3 0
                                    

Kamu harus sadar. Gak semua yang ada di dunia ini bisa kamu genggam. Ketika kamu telah memilih, sudah hukumnya kamu harus merelakan yang tidak kamu pilih. Jangan serakah, hidup bukan tentang menguasai seluruh jagad raya.

Vasa mengeluh panjang, gadis yang rambutnya sedang terurai itu duduk pada ayunan yang menggantung pada pohon Kersen. Dia diam sambil terus memikirkan segala hal yang sudah terjadi dengan begitu cepat. Meski dia masih belum mengerti, tapi dia sadar kalau dia harus segera bangkit.

Taman di komplek Anggrek itu sepi pengunjung, hari libur panjang setelah penerimaan rapor sudah tiba. Mungkin banyak orang di komplek rumah Vasa itu sudah pergi berlibur atau pulang kampung. Sehingga maklum saja kalau taman ini menjadi sepi pengunjung.

Rambut panjang Vasa yang tergerai bergerak menutupi seluruh wajahnya, dia menunduk dalam. Duduk pada ayunan yang bergerak perlahan. Pikirannya melayang pada teman-temannya yang tadi mengiriminya pesan. Ada yang mengajak liburan, ada yang mengajak mendaki gunung, ada yang mengajak berbisnis, dan bahkan ada yang mengajak belajar materi semester dua.

Vasa bukannya tidak mau. Dia mau-mau saja sebenarnya, hanya saja masih banyak sesuatu yang menjadi cabang pikiran Vasa. Seminggu lagi dirinya harus menemui Azlal dan Laza, dirinya perlu bantuan seseorang, tapi yang dibutuhkan justru bersikap aneh dan tidak jelas.

Vasa masih menunduk, benar-benar membiarkan rambutnya luruh menutupi wajahnya. Gadis itu terisak pelan, dirinya tidak mau dianggap lemah. Ia kembali memikirkan kejadian dua hari lalu.

Sesaat setelah pergi dari kafe senja, Vasa diam duduk pada boncengan sepeda Afshen. Laki-laki itu belum berkata apa-apa sejak keluar dari kafe dan ucapan yang pertama terlontar dari mulutnya adalah, "Va, lo masih sayang banget sama Gava, ya?"

Vasa mengeryit kaget, "Kenapa?"

Afshen memberhentikan sepedanya, fokus pada Vasa yang kini kebingungan di depannya. Laki-laki itu menatap Vasa dalam, benar-benar ingin memastikan hingga dirinya lega.

"Belum ada orang yang bisa buat hati kamu jadi satu-satu ya, Va? Termasuk saya?"

Vasa diam, kemudian ia menatap Afshen. Vasa bisa merasakan kekalutan laki-laki itu persis seperti yang dirinya lihat pada kedua iris mata Azlal.

"Af," Vasa menegur Afshen.

"Mungkin aneh buat kamu, Va. Tapi sungguh, saya lupa kapan. Mungkin saat melihatmu terisak sesak karena kepergian Gava. Atau mungkin sejak kamu memeluk saya di balkon kamar. Atau mungkin sejak kamu tersenyum pada saya. Kamu menarik dunia saya."

Vasa tidak buta. Sahabatnya sedang menyatakan perasaan padanya, kan?

"Af, maaf." Itu yang diucapkan Vasa pada detik berikutnya. "Mungkin aku yang terlalu kekanakan. Belum mengerti benar akan sebuah perasaan. Kita masih sama-sama awam buat rasa sebesar cinta. Aku masih enggak tau, aku enggak ngerti."

Afshen membuang pandangannya ke arah lain, yang penting dia tidak ingin melihat gadis didepannya ini terisak. Dia tidak tahan untuk tidak memeluk Vasa, itu tidak boleh terjadi. Karena semua yang ada bisa berantakan.

"Gava? Kamu bisa mencintai dia, Va."

Vasa mengusap pipinya, "Aku sayang Gava, enggak Cuma cinta. Mungkin aku berlebihan, tapi nyatanya begitu. Aku butuh Gava seperti layaknya akar yang butuh air. Dia selalu membantu dan ada buat aku sejak kecil. Mungkin karena itu juga aku jadi banyak bergantung sama dia, bahkan berteman pun hanya dengan teman-teman Gava, aku lupa dunia, lupa pada kenyataan bahwa mungkin Gava gak bisa selamanya ada di sisiku,

"Gava seperti matahari, sedang aku salah satu dari planet kecil yang ikut berevolusi memutari matahari. Gava pergi, itu berarti matahariku lenyap. Planet kecil sepertiku bingung hendak mengeliling bintang mana lagi, karena planet kecil sekalipun tidak ingin hidupnya berhenti, belum ingin dunianya runtuh. Mungkin karena selama ini hanya dengan Gava, aku tidak mengerti apapun mengenai rasa. Pahamku hanya rasa yang sama saat aku bersama Gava atau rasa yang sama saat Gava pergi. Hanya itu."

Vasa berhenti sejenak, mengusap pipinya yang basah. Dan masih melihat pada Afshen yang justru menyapukan pandang pada jalanan lengang ditengah mereka.

"Hatiku berdebar saat bersama Kak Azlal, rasanya seperti dekat dengan Gava. Hatiku menghangat tiba-tiba saat kamu peduli denganku, Af, dan rasanya seperti Gava. Aku belum paham rasa. Planet kecil sepertiku mudah tertarik pada orbital kosong pada bintang-bintang lain. Maaf, aku belum mengerti."

Afshen menghela napasnya, "Lalu kamu tidak sadar telah menyakiti banyak orang? Kenapa kamu terus menerima dan baik pada semua orang?"

Vasa tertohok, "Aku sadar aku salah. Aku seakan menerima kehadiranmu juga kehadiran Kak Azlal. Aku hanya tidak mengerti caranya menolak, aku hanya tahu perihal menerima. Yang kini justru membuat luka, padahal aku hanya ingin jadi orang yang baik. Berteman dengan semua orang, tapi aku salah."

Afshen diam dan kembali melajukan sepedanya, "Maaf, Va. Tapi saya enggak bisa terus menunggu orang yang hatinya gak bisa terbuka buat saya. Menunggu orang yang bahkan tidak tau hatinya untuk siapa. Mungkin kamu benar, kita belum dewasa buat mengerti perihal rasa."

Vasa hanya diam, keduanya bisu di sepanjang jalan lengang.

Gadis yang masih duduk pada ayunan itu mulai mengangkat wajahnya, "Kamu bener, Af. Aku gak ada hak buat terus menahanmu ada di sisiku. Aku harus menjalani segala yang aku pilih. Ini hidupku, tidak boleh berhenti hanya karena cerita singkat yang lewat. Hidup ini bukan tentang menguasai seluruh jagad raya. Tapi aku berhak atas cita-cita dan tujuan hidupku. Meski pada hidupku tidak lagi ada Kamu, Gava, ataupun Kak Azlal, semua harus tetap baik-baik saja. Mungkin ini imbalan karena aku yang tidak pernah bersyukur akan adanya orang baik sepertimu yang pernah hadir pada hidupku."

Vasa bangkit, menyelipkan rambut yang semula menutupi wajahnya ke belakang telinga. Gadis itu sadar, dia belum paham rasa. Dirinya harus fokus pada belajarnya. Fokus pada masa depannya. Belum saatnya dia bermain rasa saat dia sendiri masih kebingungan sejak pusat rotasinya hilang. Belum saatnya, mungkin semakin dewasa, seiring berjalannya waktu, Vasa akan paham benar. Tunggu saja hingga masanya tiba.

Mari menyimpan semua cerita dan memulai sesuatu yang baru serta bermakna. Vasa tidak ingin menyakiti siapa pun hanya karena perasaan tak menentunya. Vasa sebenarnya pernah ingin menyalahkan Azlal yang mencoba bermain dengannya, padahal laki-laki itu tinggal berkata jujur perihal semuanya dan mengakuinya. Tanpa perlu mendekati Vasa dan berakhir membuat semua berantakan. Tapi beribu kali Vasa ingin menyalahkan, hasilnya tetap sama. Dia tidak merasa Azlal bersalah padanya. Semua terlanjur terjadi, dan semua pihak hanya perlu memperbaiki segalanya.

Azlal perlu mempertanggungjawabkan perilakunya terhadap Laza. Berusaha menerima dan mencintai Laza. Berusaha hidup berdampingan dengan Laza. Memperbaiki semua hidupnya yang rusak. Menerima konsekuensi dari perbuatannya, termasuk merelakan Vasa dan membuka lembar baru bersama Laza.

Vasa perlu belajar. Perlu menggali dan mengenali luasnya dunia. Tak ada yang namanya memilih semua pilihan. Ia perlu peka akan keadaan, berhenti tak acuh, dan mensyukuri apa yang ada. Lembaran barunya adalah bersama dengan buku-buku tebalnya, belajar dan memahami segala makna. Saat itu Vasa hanya kebingungan arah sehingga salah menafsirkan hal-hal yang ada. Ini saatnya dia memulai dari nol. Seperti bayi yang tumbuh dewasa, tapi kali ini tanpa bantuan siapa-siapa.

Kemudian, Vasa membuka handphonenya. Mau tidak mau dirinya ikut tersenyum saat melihat Azlal memasang foto profil linenya dengan foto dirinya bersama dengan Laza. Lalu beralih pada status instagram milik Afshen, menampilkan foto laki-laki itu bersama dengan Ressa –orang yang pernah meminta bantuan Vasa untuk mengantar undangan makan malam Rohis- dengan caption 'resmi'.

Vasa lega, semua jadi baik-baik saja. Vasa tak masalah, ia yakin bisa melalui semua dengan baik. Meski terbesit nyeri di hatinya karena semua sudah bahagia, sedang dirinya? Masih mencari bahagia.

---RUNYAM---

KULACINOTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang