7)Ternyata Pinter

195 14 0
                                    

"Aku pernah memberikan hati pada orang yang salah. Aku yang selalu mencintainya dengan segala cara dan usahaku. Tapi nyatanya? Ia tak pernah mencintaiku balik. Dan kali ini, kamu datang dengan pelita. Haruskah aku menerima?"

Gadis yang masih memakai seragam sekolahnya itu berjalan menyusuri trotoar di pinggir jalan. Menggenggam payung birunya dengan erat sesekali merapatkan cardigan yang ia pakai. Hujan begitu deras hari ini. Mengguyur kota kecil yang padat penduduk.

Suara derum mobil dan klakson mobil yang nyaring dan saling bersahutan menambah ramai suasana dengan suara percikan air yang turun. Tidak ada lagi asap kendaraan yang mengepul melainkan si petrichor –bau hujan- yang sungguh menyenangkan.

Vasa melipat payungnya dan meletakkannya di sudut pintu sebuah kafe. Gadis itu menghembuskan nafas dengan perlahan. Lalu tampak menepuk-nebuk cardigan yang melekat erat di tubuhnya, untuk menghilangkan titik-titik air yang menempel.

Ada rasa letih yang menjalar disana. Dalam diri Vasa. Memikirkannya saja sudah membuatnya pusing.

Ia memasuki kafe -Kafe Senja namanya- dimana ia sering membaca banyak bukunya disini. Menurutnya, karena keadaan kafe disini yang tidak terlalu ramai membuatnya mudah untuk belajar. Bukan karena kafenya yang sepi pengunjung melainkan suasana kafe yang tidak begitu riuh dengan musik klasik yang mengalun lembut. Sangat cocok di telinga Vasa.

Vasa duduk di tempat biasa, tempat dimana ia bisa menempelkan telapak tangannya pada kaca untuk menikmati dinginnya suasana hujan. Dimana ia bisa menghembuskan nafas disana dan berakhir dengan uap di kaca.

Saat seorang pelayan menghampiri Vasa untuk menanyakan pesanan. Vasa akan menjawab dengan "French fries, machiatto, dan es krim rasa kopi." Selalu seperti itu. Makanan pendamping saat belajar, salah satu kesukaanya.

Vasa membuka buku-buku pelajarannya dengan sisa mood yang ia milikki hari ini. setelah hasil ulangan biologi dibagikan, entah kenapa gadis itu terus mencebik kesal dalam hati.

Ia benar-benar malas untuk belajar. Karena yang sedang ia pikirkan adalah betapa malunya ia tatkala mengikuti remed pelajaran Biologi. Bukan apa-apa, masalahnya, Pak Lala sering mencampur seluruh siswa dari kelas X-1 sampai X-4 IPA untuk mengikuti remed mata pelajaran Biologi. Jelas bila Vasa akan malu nantinya.

Setelah kejadian sibuknya Azlal sambil membawa banyak dokumen di jalan dekat parkiran waktu itu, Azlal menyuruh Vasa meluapkan amarahnya hari ini. ya, tepatnya sore ini. Dua hari setelahnya, bayangkan saja? Menahan marah hingga selama itu. Vasa benar-benar di latih untuk sabar kali ini.

Tapi nyatanya Vasa sendiri sudah kesal, benar-benar kesal. Tapi mungkin kali ini dia tidak akan marah karena dirinya sendiri sudah lelah. Percuma membuang-buang tenaga hanya untuk marah, yang ada malah menambah dosa.

Dan berakhir disinilah Vasa saat tadi ia menerima pesan di line dari Azlal. Entah laki-laki itu mendapatkan dari mana id line miliknya, lagipula Vasa juga tidak terlalu ambil peduli.

Jahilun

Gimana? Kemarin mau ngomong apa, eh? Nanti ketemu di kafe dekat sekolah aja jam 4 sore. Bisa? Aku tunggu ya. Ketua ROHIS-mu.

Dan setelahnya Vasa mengganti nama kontak line Azlal dengan nama Jahilun. Tapi sebenarnya Vasa juga tidak mengerti dengan arti kata tersebut, ia menggunakannya karena kemarin Kak Maryam menceramahi bab masa jahiliyah sebelum era risalah Nabi. Dan Kak Maryam berkali-kali menyebutkan kata Jahilun. Jadilah Vasa menggunakannya tanpa mengetahui artinya.

Dan Vasa juga sengaja datang satu jam dari jam yang ditentukan oleh Azlal. Ia ingin menikmati kesendiriannya setelah satu hari penuh telinganya pengang akibat anak-anak kelasnya yang tukang super duper ramai membuat onar di kelas, sampai Bu Tati dibuat menangis karena tidak ada satu pun anak yang mengumpulkan tugas fisika yang diberikannya dari jauh hari. Termasuk Vasa.

KULACINOTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang