15)Sepotong Kenangan

159 15 2
                                    

Karena lo itu gak pernah bisa tergantikan. Dan gue beruntung, setidaknya gue udah pernah ngerasain bahagia sama lo. Meski akhirnya lo juga pergi.

"Gava, lihat PR dong." Seorang gadis baru saja datang dengan tas besar di punggungnya itu tampak memohon.

"Makanya kalau PR itu kerjainnya di rumah, gak di sekolahan kayak gini." Gava menceramahi Vasa lagi, laki-laki itu berdiri dan menjauhkan buku tulisnya dari jangkauan Vasa. Sedangkan gadis itu melompat-lompat berusaha menggapai buku tulis di tangan Gava.

Gava hanya tertawa senang melihat Vasa yang kesusahan menggapai buku di tangannya. Wajah Vasa yang cemberut dengan tingkah melompat-lompatnya.

Vasa duduk manis di bangkunya, "Udahlah, Ga. Nyerah ah! Lo tinggi bangett." Tangan Vasa mengusap-usap dahinya, menghilangkan keringat yang menempel disana.

Gava tampak memperhatikan Vasa dari samping, Vasa yang sedang menidurkan kepalanya di meja dan menjadikan buku paket fisika sebagai penutup wajahnya.

"Va," Gava yang sedari tadi diam tampak memanggil Vasa.

"Hmm,"

Gava tampak mengelus puncak kepala Vasa dan memperhatikan rambut sebahu milik Vasa, "Ntar kalau mau potong rambut bilang-bilang dulu yah."

Vasa baru menyadari jika kemarin ia baru saja memangkas rambutnya, "Kenapa?" gadis itu bangkit dari posisinya dan bertanya atas ucapan Gava.

Gava menggeser buku tulis pekerjaan rumahnya ke arah Vasa, sedangkan mata Vasa berbinar menatap buku tulis milik Gava, "Kalau rambut lo pendek pasti lo iket terus. Ntar kalau di gerai juga jelek."

Vasa menyalin PR hasil kerja Gava dengan cepat sebelum Bu Jiyem datang, "Kok gitu, Ga." Vasa cemberut dengan perkataan Gava. Vasa memukul lengan Gava pelan dengan buku paket fisika tebal yang tadi ia bawa.

"Gak, maksudnya lebih bagusan kalau rambutnya panjang." Gava terkekeh dengan kecepatan perubahan mimik wajah Vasa.

"Iyadeh, nanti dipanjangin."

"Tapi jangan terlalu panjang juga, Va. Soalnya kalau kepanjangan serem. Sepunggung aja." Gava berucap, kepalanya ia sandarkan pada telapak tangan dengan siku yang bertumpu di atas meja. Gava lebih senang memperhatikan Vasa yang serius menyalin kilat.

"Iyadeh. Tapi kok lo jadi kayak emak gue sih, Ga." Vasa menatap Gava sebentar lalu kembali fokus pada tulisannya.

Gava hanya terkekeh dengan ucapan Vasa, "Lo dari tadi ketawa mulu, kenapa sih, Ga?" Vasa menatap Gava bingung.

Gava lagi-lagi tekekeh dan mengacak rambut Vasa, "Enggak," Gava tersenyum pada Vasa yang hanya melihat bingung kearahnya sedari tadi.

Gava jangan gini dong, lo gak tahu sih kabar jantung gue.

Vasa membatin dalam hati saat Gava melemparkan senyum manisnya. Manis sekali.

"Ngapain liatin gue, Ha? Tersepona lo ya?" Gava tersenyum jahil pada Vasa sambil menaik-turunkan kedua alisnya. Gava menatap Vasa dan menoel-noel pipi gadis itu. Tanpa Vasa sadari, pipinya memanas tanpa sebab.

"Pipi lo merah tuh, Va. Kena tampar siapa sih?" Gava terus menggoda Vasa.

Vasa terkekeh kecil, "Kena tampar cintanya Bang Gava." Vasa yang semula menunduk tampak menatap Gava balik.

"Iri gue, udahan napa! Ga, ntar gue kerumah ya." Afshen yang baru saja datang itu tiba-tiba duduk di bangku depan Vasa.

"Main nongol aja, elah setan!" Gava berucap kesal pada Afshen yang tiba-tiba datang entah dari mana.

KULACINOTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang