"Konspirasi dunia ini kejam. Aku pernah merasa memiliki, namun aku juga merasa kehilangan. Konstelasi pada waktu yang sama. Belenggu ini menyakitkan, karena dunia kita tak sama lagi. Dan salahkah bila aku kini merindukanmu?"
"Pada hujan yang sama, aku menakutkan hal sama pula. Aku takut bila alam tak begitu senang dengan kebahagiaan kita. Dan aku takut bila alam mengambilmu dariku. Menyimpanmu untuk dirinya sendiri, ditempat yang tak akan pernah bisa aku jangkau."
Vasa, gadis pemilik iris mata gelap itu berdiri dengan menggenggam sebuket bunga lily warna putih. Ia tampak menyibakkan rambut panjangnya ke belakang sebelum berlutut di samping gundukan tanah yang basah. Gundukan sekitar setahun lalu.
Gadis pembenci sekaligus penyuka hujan itu meletakkan buket bunga yang tadi ia bawa sambil membaca bait-bait doa dalam hati dan mengaamiinkanya.
Gadis penyuka hujan karena kenangan yang tersimpan rapat bersama tetes airnya dan gadis pembenci hujan karena terenggutnya orang yang teramat ia sayang. Semua itu berada diantara hujan.
Gadis itu menatap kosong pada gundukkan tanah itu, hujan kembali menumpahkan tangisnya. Hujan seakan mengerti dengan perasaan Vasa. Ia mulai meraba-raba nisan yang bertuliskan 'Gavareo'. Nama sahabatnya.
Sahabat yang miliki sedari ia kecil. Sahabat yang teramat mencintai dan juga menyayanginya. Begitu pula sebaliknya dengan Vasa.
"Hai, Ga. Udah lama ya aku gak datang kesini? Maaf, akhir-akhir ini aku terlalu sibuk sama pendaftaran ke SMA." Vasa menghela nafasnya dan menyapukan tangannya ke wajah untuk menghapus lelehan air matanya.
Bunyi alat elektrokardiograf yang melengking panjang dan nyaring di telinga mulai terngiang kembali di ingatan Vasa. Dimana terteranya satu garis lurus dalam komputer yang menyatakan telah berhentinya detak jantung seseorang.
Tepat di hari pertambahan umurnya, saat ia menginjakkan umur ke-15 tahun. Hujan tragis penuh air mata datang lagi. Kecelakaan naas yang merenggut sahabat tercintanya. Tepat pukul sembilan malam.
Kehilangan sahabat yang selalu dan terus membuat Vasa merasa bersalah, pasalnya Gava mengalami kecelakaan saat perjalanan ke perayaan ulang tahun Vasa. Haruskah Vasa menyalahkan dirinya? Bukannya semua itu takdir Yang Maha Kuasa?
"Sekarang aku udah SMA, Ga. Seandainya kamu disini, pasti masa-masa SMA-ku lebih nyenengin. Kenapa semesta gak begitu suka dengan kedekatan kita?"
"Ga, kamu jangan diam aja dong. Aku udah jauh-jauh datang juga. Malah dicuekkin gini."
"Hari ini tanggal 2 Mei, hari ultah kamu kan, Ga? Aku gak pernah lupa. Tapi aku minta maaf juga, Ga. Aku gak bawa hadiah. Cuma bawa ini, bunga Lily yang dulu selalu kamu kasih buat aku. Warna putih, kan? Lagi-lagi aku gak pernah lupa, Ga." Gadis itu tampak terkekeh dengan perkataannya sendiri, namun berbanding terbalik dengan air matanya yang sejak tadi terus menuruni kedua pipi tirusnya.
"Hari ini tepat setahun, 2 bulan, 21 hari, 12 jam, 3 menit, dan 45 detik kamu ninggalin aku, Ga. Itu tuh lama banget tauk! Kamunya kapan pulang?" Gadis itu berkata sembari melihat ke jam yang ada di pergelangan tanganya.
Vasa mengehela napasnya sesaat, ia menyadari, sepenuhnya menyadari. Berjuta-juta kalipun ia mengajak gundukan tanah itu berbicara, pasti hasilnya nihil. Hanya hening yang menyelimuti. Tak akan ada yang menjawab.
Di sore hari ini, saat hujan kembali turun, saat masih terdapat ribuan orang di dunia yang masih menggigil sepi tanpa tahu dengan siapa ia akan melanjutkan hidup. Sama seperti Vasa, bait-bait doanya mungkin memang sampai kepada Tuhan, tapi akankah semua celotehannya sampai kepada sahabatnya? Sejauh ini yang menjawab ocehan panjang Vasa hanyalah angin senja yang dengan senang hati berlarian kesana kemari. Berembus perlahan menerpa rambut dan telinga gadis itu.
KAMU SEDANG MEMBACA
KULACINO
Teen FictionApa jadinya jika seorang ketua ROHIS yang terkenal alim seantero sekolah ternyata tidak seperti yang kalian lihat. Siapa yang menyangka jika ketua ROHIS itu sendiri adalah pelaku one night stand? Siapa sangka jugaa bahwa ketua ROHIS sangat suka ke b...