14)Jilbab Rohis

153 14 0
                                    

Terkadang hal yang dibenci itu malah udah punya porsi tersendiri di hati, bahkan porsinya pun bisa melebihi dari tempat untuk orang yang kita sayang.

"Lama ya? Maaf deh," Radya yang baru saja selesai melaksanakan sholat Dzuhurnya itu langsung duduk di samping Vasa dan Sakin sambil memakai sepatunya.

"Apaan lu dah, Dya. Kayak sama siapa aja." Sakin menggeleng menjawab hipotesa sepihak Radya.

"Lamaa bangeettt, Dya! Gue sampe lumutan disini. Lo liat sendiri nih tubuh gue." Sedangkan Vasa menjawab dengan ekspresi kesal yang sengaja dibuat-buat.

Radya mendorong tubuh Vasa dan mendengus kasar. Sebenarnya Radya lebih suka menarik rambut panjang Vasa, tapi Radya sendiri hampir lupa jika Vasa sekarang sedang memakai kerudung.

"Gue kosekkin sini!?" Radya menjawab gurauan Vasa, sekarang giliran Vasa yang mendengus kasar.

"Rela deh adek rela."Vasa menjawab dan tangan kanannya bergerak menepuk-nepuk dadanya.

"Udah, udah. Mau eskul gak nih?" suara Sakin membuat Radya diam, padahal gadis itu sudah membuka mulutnya dan siap menjawab ucapan Vasa.

Radya menarik tangan Vasa dan Sakin dengan keras, "Ayo kita berangkat eskul!? Ntar keburu dimarahin."

"Kelas mana eskulnya? Lo cek grup wa deh, Va." Sakin memerintah Vasa yang mulai berdiri dari duduknya dengan malas.

Vasa membuka grup wa dan membaca pemberitahuan dari sana, "XI IPS 1," Vasa mengucapkan nama kelas yang akan dipakai untuk eskul Rohis kali ini.

Ketiganya berjalan menuju kelas yang dimaksudkan. Sepanjang koridor tak ada hal yang berarti kecuali gurauan dan obrolan gak jelas khas mereka. Mungkin ditambah dengan ghibahan kecil.

"Kok sepi sih? Udah dimulai ya?" Sakin bertanya pada Vasa yang sedang berdiri di dinding luar kelas, namun gadis itu tetap diam di posisinya tanpa menjawab.

"Subhanallah, Vasa! Ini earphone, Masyaallah." Radya melepas earphone yang terpasang di telinga Vasa secara paksa.

"Ih, Radya! Itu juga baru gue tempelin ke telinga gue kok. Bentaran aja, Dya." Vasa memohon pada Radya dengan kesal.

"Tapi lo gak dengerin Sakin ngomong, Va." Radya menepuk pipi Vasa pelan.

Vasa hanya mencengir lebar, "Maaf, ulangi deh."

"Kok ruangannya sepi, itu informasi bener gak?" Sakin mengulangi pertanyaannya.

Vasa kembali membuka grup wa dan memperlihatkan layar ponselnya ke arah Sakin dan Radya. Kedua gadis itu mengangguk setelahnya.

"Kayaknya ini sepi tuh gara-gara udah di mulai." Vasa berucap sambil berjinjit melongokkan kepalanya ke jendela atas agar dapat melihat situasi di dalam kelas.

"Terus gimana? Mati kita." Radya berucap pelan dengan wajahnya yang mulai memucat. Bahkan gadis itu menepuk dahinya sendiri.

"Santai kali, Dya. Cuma hal sepele gini, kan ada Vasa." Sakin berucap spontan dan datar, dan itu sukses membuat jantung Vasa menjadi berdetak dua kali lipat dari biasanya.

"Lo ngomong ya, Va." Radya tampak memohon pada Vasa.

Vasa menghela napasnya kasar, "Gak deh, gue gak usah ikut eskul aja hari ini."

Vasa sudah akan melangkahkan kakinya untuk pergi dari tempat itu, "Awas, Va." Sakin menarik Vasa, karena pintu kelas yang tiba-tiba terbuka dan hampir mengenai Vasa jika gadis itu terus melangkah.

"Telat, Dek?" Azlal membuka pintu dan menampakkan kepalanya yang keluar dari pintu. Mungkin suara keributan mereka terdengar hingga ke dalam kelas.

Radya menyenggol pinggang Sakin pelan menggunakan tangannya, sedangkan Sakin menatap Vasa dengan seksama. Vasa menatap Sakin balik dan memberi kode, seolah mata Vasa bisa berkata 'terus?'.

Azlal menaikkan sebelah alisnya pada ketiga gadis di depannya. Vasa memalingkan wajahnya ke samping kiri, tidak ada yang tahu jika gadis itu mati-matian berusaha meredam detakkan jantungnya. Entah mengapa akhir-akhir ini Vasa merasa takut pada Azlal.

Saat keempat orang itu saling diam tanpa ada yang berniat membuka mulut, "Kak Azlal I Love You,"

"Miss you, Kak Azlal,"

Entah datangnya darimana lagi, dua gadis yang sedang berjalan dengan anggunnya itu tiba-tiba berucap sedemikian rupa. Azlal sendiri hanya menanggapi dengan senyum tipis.

Sakin berbisik tepat di telinga Vasa, "Fansnya Kak Azlal banyak ya?" dan Vasa hanya menggeleng samar tanda ketidaktahuan.

"Maaf, Kita telat mengikuti kegiatan eskul, Kak." Vasa berucap tiba-tiba, gadis itu berucap tanpa melihat lawan bicaranya. Dan hal itu membuat Azlal merasa jika gadis di depannya ini sedang malas berbicara dengannya.

"Kalau bicara itu lebih sopan dengan menatap lawan bicaranya, bukan seperti itu. Kesannya gak bagus." Azlal tampak menasehati Vasa.

Vasa hanya memutar bola matanya. Gadis itu sudah cukup menahan diri dengan berada di dekat Azlal. Entah karena apa, intinya saat ini Vasa merasa takut dengan Azlal dan rasanya ingin menangis.

Azlal mengeluarkan buku catatan kecil berwarna biru dan bolpoin berwarna soft pink, "Sebutkan nama dan alasan keterlambatan mengikuti kegiatan eskul!" Azlal memerintah dengan jelas.

"Chavali Adeeva Harsa, saya terlambat mengikuti eskul karena... karena makan di kantin." Untuk alasan semudah itu saja Vasa bahkan harus berpikir dua kali. Ini bukanlah Vasa yang seperti biasanya, kan?

Kemudian Sakin tampak melanjutkan, "Sakinna Reina Wijaya, saya terlambat mengikuti eskul karena habis dari kamar mandi."

"Radya Cahyani Kirana, saya terlambat mengikuti eskul karena melaksanakan Sholat Dzuhur." Lanjut Radya bersaksi.

Azlal menatap tiga gadis itu dengan seksama mungkin ia sedang menimbang-nimbang alasan keterlambatan mereka. Atau mungkin, "Makan di kantin?" Azlal berkata untuk mengadili alasan Vasa.

"Iya, makan di kantin. Tentu karena lapar, salah?" Vasa berucap pada Azlal, kali ini gadis itu berkata sambil menatap jam yang bertengger di tangannya.

"Masuk," Azlal berucap datar, begitulah Azlal. Adakah orang yang lebih menyebalkan dari Azlal?

Vasa, Sakin, dan Radya duduk di satu meja yang sama. Alasannya yaitu karena mereka terlambat dan hanya tersisa sepasang tempat duduk. Radya dan Sakin sendiri sudah anteng mendengarkan ceramah dari Kak Malik. Dan itu berbeda dengan Vasa, gadis itu termenung dalam imajinasi liarnya. Vasa menidurkan kepalanya di meja dengan alas kedua tangannya yang ia lipat.

Jadi emang bener ya, Ga? Orang yang kita benci justru punya tempat tersendiri di hati kita, tempatnya pun bahkan bisa melebihi tempat buat orang kita sayang. Gava, entah kenapa dari dulu sampai sekarang gue gak pernah rela lo pergi. Rasanya sulit banget. Kenapa sih lo harus pergi, Ga? Rasanya gue udah gak punya orang yang sayang sama gue lagi.

---Bleeding---

BUAT YANG UKK,, SEMANGAT YAH :)

Sabtu baru selesai padahal udah dari Jumat lalu

KULACINOTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang