Semua itu salah. Dari awal hingga sekarang pun semuanya salah. Andai bisa, aku ingin memperbaikki kisah ini. Akan kuhapus dan kutulis ulang agar takdir kejam seperti ini tak pernah ada.
Vasa masih berlutut di posisi yang sama, gadis itu terisak. Tangisnya meledak. Membuat tenggorokannya tercekat. Berakhir dengan suaranya yang serak dengan hati yang sesak.
"Ja-di, mmak-sudnya aa-pa?" Vasa terbata.
Azlal diam, Vasa diam. Gadis itu lebih memilih mencari jiwanya. Menarik napas berulang kali. Paling tidak agar ia bisa berbicara dengan baik.
"Kenapa Kakak jadi merasa bersalah? Itu bukan cerita sedih kan?" Vasa sekarang memang lebih tenang.
"Karena salah."
"Maksudnya apa? Aku sama sekali gak ngerti."
Azlal menarik napasnya panjang sebelum memulai ceritanya, "Lo tahu kan, Va, bagaimana Gava. Dia itu orang yang terlampau baik, membuat siapa saja nyaman termasuk gue, dia orang yang berhasil nyelamatin hidup gue. Gava itu sahabat terbaik yang pernah gue milikin. Intinya dia benar-benar berarti, sejak lelehan pertama di taman waktu usia kita masih tujuh tahun. Kita sama, hanya saja gue jadi lebih tua karena gue ikut akselerasi waktu SMP. Gava menolak daftar di SMP yang sama kayak gue, dia nolak ikut akselerasi karena dia pengen sama lo."
Vasa tetap diam mendengarkan, ia mulai duduk di rumput samping Gava dan juga Azlal.
"Gue pernah minta dikenalin sama lo, tapi emang gue Cuma pengen ngerti gadis kayak apa yang berhasil membuat sosok Gava jatuh cinta. Setelah gue kenal lo, gue jadi tau, ternyata ya lo itu emang beda, lo gadis sederhana yang menyenangkan, jadi gue rasa Gava emang milih orang yang tepat, sangat tepat. Ah, Gava memang pintar kan."
"Va, gg-ue bo-doh. G-ue yy-ang u-dah nge-bbu-nuh Gg-ava." Azlal berucap terbata.
Vasa meledak, gadis itu menutup mulutnya rapat. Sudah tak terhitung lagi air mata Vasa yang berhasil jatuh hari ini. Tapi gadis itu diam saat ia ingin mencaci pengakuan orang dihadapannya ini.
"Saat itu, tepat di hari ulang tahun lo, Gava ngajak gue. Dia orang yang baik, dia menepati janjinya buat ngenalin gue ke lo. Semua gak pernah diinginkan, Va. Lo tahu kan Gava 'gak ada' gara-gara apa? Kecelakaan. Dan waktu itu, yang membuat Gava 'gak ada' itu gue. Gue yang naik motornya, Gava gue boncegin. Gue bodoh, gak becus naik motor, gue ngebunuh Gava, gue yang bikin kecelakaan itu, gue gak tahu, tapi karena kecelakaan yang gue bikin, Gava jadi 'gak ada'."
Azlal tercekat, suaranya sama seraknya dengan Vasa, laki-laki itu menangis. Air matanya tulus mengenang sahabatnya. Ceritanya mengalir, mengalun lembut dari bibirnya, cerita mimpi buruk yang terdengar sesak dan terbata dengan kejelasan samar itu mampu membuat Vasa bungkam. Gadis itu memukuli dadanya yang terasa terhimpit.
"Mulai saat itu, gue gak tahu harus gimana, Va. Gue terus-terusan mimpi buruk. Gue ngerasa bersalah, gue udah bikin sahabat gue..."
Vasa menarik napasnya panjang, dengan suaranya yang tersisa ia berkata, "Kalau Gava berhasil membuat lo berubah, kenapa lo masih aja sama brengseknya?" Perasaan gadis itu benar-benar berserakan.
"Perasaan lo gimana saat ditinggalin Gava? Gue hancur, Va. Gue salah, gue dihantui mimpi buruk itu. Lo mungkin gak tau gimana rasanya mimpi buruk tiap malam dengan bayangan Gava yang menangis, meraung kesakitan, Gava minta tolong sama gue, tapi disitu gue beku, gak bisa apa-apa. Gue bodoh, jahat, orang yang gak tau terima kasih." Azlal berhenti sejenak, menarik napasnya berulang kali disamping Vasa yang membisu.
"Gue kacau. Bokap gue sama sedihnya, karena Bokap gue tau gimana Gava udah bisa ngerubah anaknya jadi lebih baik. Gue gak tau, tapi di ruangan serba putih itu seorang ibu-ibu muda yang bergelar psikolog mengklaim gue punya OCD. Karena kepergian Gava, gue punya OCD. Semua bayangan itu halusinasi gue, gue gak tau mana yang harus gue percaya. Mimpi itu benar-benar nyata, Va."
Vasa masih diposisi yang sama, hanya saja sekarang gadis itu memejamkan matanya rapat.
"Gue takut, Va. Gue jahat sama Gava, gue gak baik. Mimpi itu datang setiap malam. Introvert gue hilang karena Gava, tapi saat Gava gak ada gue punya OCD. Emang harusnya itu Gava gak pernah pergi."
"I-itu ta-k-dir." Vasa berucap singkat.
"Gue takut, dimulai dari situ gue jadi brengsek yang suka ke bar malam-malam. Yang suka gonta-ganti cewek, menjamah tubuh gadis yang gak gue kenal, minum-minum dengan musik berdengung keras, taruhan, dan hal buruk lainnya. Gue suka keramaian, dengan itu gue bisa lupa sama mimpi buruk gue. Dan yang buat gue tercengang, bokap gue ngijinin. Bokap gue gak pingin gue jadi kayak mayat hidup. Gue hancur, Va. Gue capek sama hidup gue yang kayak gini."
"Laza?" Vasa menatap Azlal yang menunduk dengan rambut acak-acakkan dan seragam yang penuh dengan tanah merah. Laki-laki itu kacau dengan air mata yang membanjiri wajahnya.
"Gue ketemu Laza, sejak saat itu dia jadi partner."
"Maaf, Va. Awalnya gue ngedeketin lo Cuma biar semuanya beres, gue gak mau lagi hidup kayak gini. Gue mau ngakuin dosa gue, tapi lagi-lagi gue bodoh. Gue bodoh karena lupa lo itu gadis Gava, dengan mudahnya gue jatuh sama lo. Membuat semua rumit, gue jadi mengulur waktu hingga saat ini, Va. Maaf, gue minta maaf."
"Apalagi yang enggak gue tau?"
"Gue sakit ginjal. Sejak saat dimana gue suka minum hampir tiap malam. Dunia gue roboh, Va."
Vasa menggelengkan kepalanya tak percaya, "Kalau gitu, jabatan ketua Rohis disekolah buat apa? Lo munafik."
"Seenggaknya dengan jabatan baik itu gue bisa meyakinkan diri gue sendiri bahwa semuanya baik-baik aja, tapi ternyata enggak, semuanya sama aja."
"Itu karna lo gak bisa menerima semuanya dengan lapang. Lo bener, lo bodoh, lo Cuma bisa buat Gava gak tenang disana."
"Maaf, Va. Semua itu diluar keinginan. Gue minta maaf. Maaf." Ucapan Azlal terlampau tulus untuk dibilang bohong.
Vasa bangkit, "Lo gak butuh maaf dari gue."
"Jangan diperlarut, Gava udah tenang disana. Gue kaget sebenernya, tapi mau bagaimana pun semua itu takdir. Lo Cuma harus menerima dan menjalani. Lo gak usah ngerasa bersalah, gue udah enggak apa-apa, gue gak mau ngebuat Gava jadi berat disana. Jangan datang lagi, cukup."
"Va, Vasa." Azlal memanggil Vasa yang punggungnya semakin samar dari retina matanya.
Vasa melangkah, meninggalkan Azlal yang masih dalam posisi sama. Azlal kacau, sama kacaunya dengan Vasa. Perasaannya mungkin berubah, Vasa jatuh pada Azlal, tapi setiap kekalutan yang berhubungan dengan Gava selalu bisa mengalahkan segalanya. Dia benar-benar meninggalkan Azlal yang sama pecahnya dengan dirinya, padahal Vasa tahu benar rasanya pecah itu. Dan Vasa yakin, Azlal pasti juga mengerti.
Bodohnya Vasa tetap berjalan dengan seragam penuh tanah merah, mata sembab, dan kunciran acak-acakan. Vasa benar-benar buntu. Hal terakhir yang Vasa mengerti di hari itu adalah sosok Afshen yang berdiri dengan punggung menyandar di gerbang pemakaman tengah melihat kearahnya.
Detik itu Vasa mengira ia berhalusinasi karena kalut, tapi ternyata tidak ketika ia berlari dengan sisa tenaga yang ia punya dan berakhir dengan tenggelam dalam dekapan laki-laki itu.
"Af,"
Afshen mengelus puncak kepala Vasa sembari merapikan rambut acak-acakan gadis itu. Laki-laki itu membiarkan Vasa tenggelam dengan tangis yang kembali meledak.
Yang Vasa dengar hanyalah kata ajaib dari Afshen yang membuat semuanya normal, membuat Vasa sadar bahwa hari ini akan baik-baik saja, "Gue tau." Hanya itu yang diucapkan Afshen dan Vasa tersihir.
---KULACINO---
Maaf lama gak update, sebenarnya mau diupdate kemarin malam tapi malah sibuk sama vote lagu Power buat FIFA di Twitter. Maaf yaa (sekalian minal aidzin wal faidzin –telat wkwk). Semoga suka :) Ada yang pengen nge-fangirl bareng/sekadar temenan boleh follow ig @octalianaa_ dipolbek kok tenang aja, yang mau aja sii. Terima kasih. Note terpanjang ini ^^
KAMU SEDANG MEMBACA
KULACINO
Teen FictionApa jadinya jika seorang ketua ROHIS yang terkenal alim seantero sekolah ternyata tidak seperti yang kalian lihat. Siapa yang menyangka jika ketua ROHIS itu sendiri adalah pelaku one night stand? Siapa sangka jugaa bahwa ketua ROHIS sangat suka ke b...