17)Kuasa karena Uang

148 15 1
                                    

Seberapa pun sakit luka hatiku, dunia ini takkan berhenti berputar.

Azlal berjalan menyusuri trotoar sempit. Langkahnya pelan dan sedikit terseret, layaknya tidak memiliki harapan untuk hidup. Langkahnya tidak pernah sekali pun menyimpang dari garis trotoar. Karenanya.

Seharusnya dari awal laki-laki itu tahu, sedetik saja ia terlambat pergi kesana hidupnya takkan berjalan selaras. Nyawanya bahkan ia pertaruhkan sendiri, apa laki-laki itu sungguh tidak mengerti bahwa ia bisa saja sedang berada di ambang kematian?

Seharusnya ia tidak mengambil keputusan dengan begitu cepatnya. Seharusnya juga ia harus memperhatikan hal-hal lainnya.

Dari awal juga Azlal tahu ini akan terjadi. Ia tidak ingin merasa takut, tapi tubuhnya selalu menghianati dirinya sendiri. Semuanya berulang dengan perlahan, memberi penyiksaan yang mengagumkan. Kesepian yang menggerogoti kehidupan tuannya.

Bila saja laki-laki itu tadi tidak harus peduli dengan Vasa. Tanpa mengikuti, menolong perempuan itu, dan mengantarkannnya pulang, semua tidak menjadi seperti ini.

Pada akhirnya semua menyesakkan untuk dirinya sendiri. Hanya ia yang mengalami sakit dan rasa bersalah.

Saat tubuhnya menggigil ketakutan dan rantai masa lalu kembali membelenggunya, derap langkahnya perlahan bersaing dengan derap langkah cepat yang mengahampirinya.

"Bana, aku ada disini." Laza memegang tangan Azlal dan menuntun laki-laki itu menuju mobil merah yang terparkir tak jauh dari tempat keduanya berdiri.

"Aku pakaiin ya sabuk pengamannya." Laza memasangkan sabuk pengaman Azlal dengan lembut.

Laza mulai melajukan mobilnya, gadis itu melirik sebentar kearah Azlal dan tersenyum. "Bana kita mau kemana dulu?" gadis itu menanyai Azlal dengan senyum yang tak pernah pudar dari wajah cantiknya.

"Apa sekarang kita perlu ke psikolog, Ban?" Laza menatap Azlal khawatir, bahkan sekarang gadis sepengertian Laza pun didiamkan Azlal.

Laza menghela napasnya kasar, "Dari dulu pun aku tahu kalau kamu gak pernah mau ke psikolog. Seharusnya aku gak perlu tanya kan, Ban?" Laza tersenyum kecut.

"Apa kita harus ke dokter sekarang, Ban? Kamu ngerasain apa? Kamu baik-baik aja kan?" Laza masih saja bertanya pada Azlal.

"Besok aja ke dokternya. Sekarang kamu cuma perlu ngelakuin apa yang biasanya kamu lakuin." Azlal tersenyum tipis menanggapi.

"Eh?" Pipi gadis itu tiba-tiba saja memerah dengan perkataan Azlal, "Jadi sekarang kita ke?"

"Hotel biasanya,"

Laza hanya menurut, selalu seperti itu. Gadis yang terlalu dibutakan oleh cintanya terhadap Azlal. Perasaan tulusnya yang justru menjerumuskan dirinya sendiri. Merelakan harga diri dan selalu bermuka tebal. Meski gadis itu sendiri pun tahu bahwa hanya dirinya yang terlalu mencintai Azlal.

--- I OWE YOU---

Vasa membaringkan tubuh Afsa dikamar gadis itu. Tantenya sangat khawatir pada Afsa, terlebih saat ada laki-laki yang mengantarkan kedua gadis itu pulang.

Vasa sendiri akan merawat Afsa dan bermalam di rumah tantenya, lagi pula besok hari libur. Vasa akan dengan senang hati menginap disini.

Ketukan di pintu kamar Afsa membuat Vasa menolehkan kepalanya. Tante Ina masuk ke kamar Afsa dan membawa secangkir kopi beserta baskom air hangat.

Wanita paruh baya itu meletakkan nampannya di meja samping tempat tidur Afsa, "Tolong ya, Va. Tanyakan apa masalah kakakmu itu." Tantenya berujar khawatir sambil menatap Vasa, respon yang bisa Vasa berikan hanya anggukan dan senyum tipisnya.

KULACINOTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang