31) People Come and People Go

39 3 0
                                    

Tidak lagi denganmu bukan berarti duniaku runtuh, kan? Namanya juga hidup, perlu dijalani lebih berani supaya bisa lebih baik lagi.

Pagi cerah dengan matahari bersinar membuat Vasa lebih optimis. Dia sudah siap dengan dress warna peach yang sekarang menjadi favorite nya, tak lupa tas selempang hitam yang selalu dia bawa kemana saja. Rambutnya dibiarkan terurai setelah dia sisir dengan rapi. Tak lupa flat shoes warna peach juga menghiasi kaki jenjangnya.

Dia lekas menuruni tangga dan pamit pada mamanya dengan sigap. Bergerak cepat menuju depan rumahnya dengan motor matic andalannya. Gadis dengan senyum mengembang itu siap melajukan motornya dengan penuh keyakinan. Melesat menuju bandara Soekarno-Hatta dengan kecepatan enam puluh kilo meter per jam.

Vasa masih tersenyum diatas motornya yang melesat cepat, gadis itu sudah pernah bertekad sebelumnya. Ia berjanji, senyumnya tak akan pernah luruh meskipun seluruh dunia membencinya sekalipun. Ia akan menjadi anak periang dan penuh tawa sesuai janjinya pada Gava dulu.

Dia tak menghiraukan keadaannya, meskipun saat ini dia sendirian, Vasa penuh keyakinan bahwa dia bisa. Dirinya bisa menjalani hidup dengan baik dan meraih cita-citanya tanpa seorang yang disebut 'kekasih' disampingnya sekalipun. Dia bertekad kuat bahwa masa SMA dan kuliahnya hanya akan dia habiskan dengan fokus belajar, menata masa depan seperti Radya. Gadis pintar dengan semua prinsipnya.

Vasa akan berprinsip, memiliki rencana dan jadwal tertata dalam hidupnya. Belajar, belajar, dan belajar serta meraih rangking satu seperti dulu. Terakhir dirinya mendapat rangking satu mungkin kelas delapan, seingat Vasa.

Sesampainya di bandara, Vasa turun dari motornya dan menuju ke airport lounge. Vasa setengah berlari agar segera sampai disana. Takut kalau orang yang ingin menemuinya sudah datang dari lama. Dan benar, disana sudah ada Azlal, Laza, dan mungkin Ayah Azlal?

Vasa tersenyum, menyalami Putra –Ayah Azlal-. Kemudian menjabat tangan Azlal dan Laza secara bergantian sebelum duduk diantara mereka bertiga.

"Jadi kamu Vasa?" Putra memulai percakapan.

Vasa hanya mengangguk sambil tersenyum.

Putra mau tak mau juga ikut tersenyum, "Kenal Gava berarti ya?"

Vasa mengangguk lagi, "Iya, Om."

Putra melirik pada Azlal, "Katanya mau bicara?"

Selang beberapa detik.

"Va, kalau ini yang kamu mau, aku bakal ngejalanin. Supaya antara kita semua gak ada yang terluka, kamu bener. Aku gak boleh buat Gava disana kecewa dan enggak tenang." Azlal menatap Vasa dalam, menyorotkan sendu dan rindu yang teramat dalam pada perempuan di depannya.

Vasa mengangguk dengan senyumnya yang masih senantiasa mengembang lebar, "Kakak harus janji sama aku. Vasa yakin Kakak pasti bisa lewatin semua ini bersama Kak Laza." Vasa melirik Laza sekilas.

"Kamu baik banget, Va. Emang aku gak pantes buat kamu." Azlal tertawa hambar.

Vasa menggeleng, "Enggak, Kakak salah. Aku sama sekali enggak begitu. Aku justru baru menyadari kalau aku sendiri salah dan secara enggak sengaja udah buat orang lain hancur. Aku enggak sebaik itu. Sekarang kita Cuma harus memperbaiki segala hal yang udah terlanjur terjadi."

Laza menaikkan sebelah alisnya, "Maksud kamu laki-laki yang kemarin sama kamu itu? Kelihatan dia sayang banget sama kamu, Va. Pasti dia kemarin terluka banget denger omongan kamu."

Vasa tersenyum getir, "Iya, Kak. Aku yang bodoh banget, kenapa aku gak pernah sadar dan peka sama keadaan. Aku kurang mensyukuri hal-hal yang ada di hidup aku, saat mereka pergi baru deh terasa berharganya kayak gimana."

KULACINOTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang