Bunyi pemberitahuan chat masuk mengalihkan Alin dari buku yang sedang ia baca. Saat ini ia sedang membaca novel karya Ilana Tan, salah satu penulis favoritnya dengan khusyuk. Dibukanya aplikasi chat tersebut dengan sekali tekan dan melihat ada banyak chat yang masuk.
Alin membuka chat teratas dari Ali dan menanyakan bahwa ia sudah dirumah atau belum. Ia sudah berada di rumah sejak sore tadi setelah mereka selesai makan sore. Ia mengetiknya dengan cepat, dan secepat itu pula lelaki itu menelponnya.
"Aku udah di depan rumahmu. Turun sekarang sekalian bawa jaket. Temenin aku keluar."
Gadis itu melotot. Lelaki itu bahkan tidak memberinya waktu untuk berbicara dan langsung memutusnya secara sepihak. Dengan malas ia pun mengganti bajunya dan membawa jaket seperti yang diperintahkan Ali. Setelah selesai, ia pun turun ke bawah dan menemui lelaki yang tadi menelponnya.
***
Setelah perjalanan yang begitu lama, akhirnya mereka sampai di tempat tinggi dan sepi. Alin turun dari motor setelah Ali memberhentikan motornya. Tangannya ia rentangkan dan pinggangnya ia gerak-gerakkan ke kiri kanan karena pegal duduk di atas motor selama berjam-jam.
Lelaki yang sedang bersamanya sedang berkaca di depan spion motornya sambil merapikan rambutnya. Ia menoleh ke belakang dan melihat gadis itu masih melakukan peregangan otot.
"Lebay amat, deh! Cuma dua jam perjalanan doing udah pegel-pegel."
Alin memutar bola matanya malas. Ia memilih mengabaikan omongan Ali tadi.
"Ngapain ngajakin aku kesini?" tanyanya to the point.
Lelaki di depannya tidak langsung menjawab dan hanya senyum-senyum membuat Alin gemas dan ingin mendorong lelaki itu ke jurang.
Melihat reaksi Alin yang sudah gregetan, ia pun menarik gadis itu ke suatu tempat.
"Kamu mau ngapain?" tanya Alin takut-takut sambil menarik tangannya yang dipegang Ali dan langsung memeluk dirinya sendiri. Ali memang tidak pernah berbuat tidak senonohnya padanya, tapi bukan berarti lelaki itu tidak pernah berniat jahat padanya. Bisa saja dia mau diam-diam membunuhnya disini atau—
"Aku ga akan melakukan hal-hal aneh seperti yang kamu pikirin," seru Ali yang sepertinya bisa membaca segela pikiran negatif yang ada di otak Alin.
Alin menghela napas lega. Lelaki di depannya melangkah mendekat dan Alin masih berposisi seperti sebelumnya memeluk dirinya. Dan tanpa disadarinya, Ali sudah memukul kepalanya membuatnya spontan merintih sakit dan kaget.
"Jangan terlalu banyak mikir yang aneh-aneh. Mending otaknya dipake buat belajar. Aku kesini cuman mau nunjukin kamu pemandangan yang selalu aku lihat di tempat rahasiaku ini."
Dan Alin pun mengikuti arah pandan Ali. Dan benar saja, ini indah. Ia hampir tak bisa berkata-kata. Pemandangan kota dari atas bukit memang selalu indah. Gerlapan cahaya lampu yang berasal dari rumah penduduk dan kendaraan seperti bintang yang ada di bawah bumi. Udara disini juga sejuk. Mungkin inilah alasan Ali menyuruhnya membawa jaket tadi.
"Sudah lama aku pengen ngajak kamu kesini."
Ali mulai membuka suaranya setelah berapa lama tadi hening karena mereka menikmati pemandangan yang disuguhkan di depan. Ia mengambil posisi duduk di bangku panjang tak jauh dari tempat mereka berdiri. Alin pun mengikutinya dan ikut duduk di sebelah. Mereka kembali terhenyak dalam keheningan.
Tiba-tiba Alin teringat sesuatu.
"Kamu..." kata mereka kompak. Kok bisa pas gini timingnya? Pikir Alin
"Duluan aja, deh!"
"Kamu aja duluan," kata Ali mengalah.
"Hmmm... udah lupa mau ngomong apa. Kamu aja duluan, habis itu aku. Sambil mikir-mikir tadi mau ngomong apa," bohong Alin. Ia penasaran apa yang ingin dikatakan Ali.
"Waktu itu kamu belum ngejawab pertanyaanku. Kenapa kamu tinggal sendirian? Siapa orang yang kamu cari?"
Ada banyak hal yang ingin ia tanya, ada banyak hal yang ingin ia ketahui tentang gadis di sebelahnya. Sejak pertama kali ia bertemu dengan Alin, ada banyak misteri yang belum terjawab. Ia penasaran. Sikapnya yang pendiam dan pemalu, walau sekarang sedikit demi sedikit mulai terbuka. Ia ingin juga ingin mengangkat sebagian beban Alin jika diizinkan.
Gadis di depannya membisu seolah kehilangan kata. Pandangannya yang awalnya penuh kesedihan dan kekecawaan tiba-tiba berubah kosong, seolah-olah ingatan itu membawanya kembali ke ingatan yang begitu menyakitkan. Melihat perubahan raut Alin yang seperti itu membuat Ali menyesal telah menanyakan hal tersebut. Lebih baik ia menanyakan tentang kedekatannya dengan Alan dibanding tentang Alin. Tapi, ia sendiri masih belum sanggup mendengar jawaban yang akan didengarnya nanti.
"Ga usah dijawab kalo ga mau cerita." Ali benar-benar merasa tidak enak dengan suasana kelam seperti ini. Walau tempat mereka sekarang agak gelap, tapi aura yang keluar dari diri Alin jauh lebih menyeramkan.
"Oya, pas ke acara pernikahannya Kak Anin, kamu pergi bareng aku aja. Ini Kak Anin yang maksa, loh." Kali ini ia berusah mengalihkan topik pembicaraan. Dan sepertinya berhasil karena Alin kini menganggauk sambil menatapnya memberikan senyuman. Senyuman terpaksa.
"Tadi mau ngomong apa?"
"Eh?" Giliran Alin yang kebingungan. Ia takut pertanyaannya adalah pertanyaan sensitif seperti tadi. Tapi, ini kan Ali, tidak mungkin ia sensitif dengan pertanyaan yang akan diajukannya. Ia bertanya karena penasaran, dan kemungkinan tidak ada sangkut-pautnya dengan Ali.
"Lita punya kembaran?"
Pertanyaan itu terdengar sederhana, tapi Alin sama sekali tidak memprediksi reaksi yang akan lelaki itu berikan padanya. Seperti saat ini.
Reaksinya sama dengan Vidya dan Kesya tadi sore. Diam dan membungkam. Tak ada senyuman atau kesedihan, sangat datar. Ah, ia benar-benar penasaran dengan perempuan bernama Vita itu.
"Iya," jawab Ali singkat sebelum Alin sempat berucap untuk tidak memaksakannya. "Namanya Vita. Memangnya kenapa?" tanya dengan dahi berkerut. Mengapa gadis ini bertanya tentang Vita? Apa dia mengenalnya?
"Ga papa. Cuma penasaran." Dia diam sebentar sebelum melanjutkan. "Ekspresi kalian sama pas aku tanya tentang Vita. Memangnya, ada apa dengan dia?"
Rasa ingin tahunya kini sudah menggebu-gebu. Ia merasa tidak bisa tidur jika rasa penasarannya tidak segera dijawab. Jadi, dia pun bertanya dengan hati-hati. Ia mengambil napas sekali, lalu mengehembusnya perlahan.
"Apa cewek itu pernah berarti buat kalian?"
Muka Ali berubah menegang, tapi sedetik kemudian ia merubahnya menjadi datar, lalu sendu. Ini benar-benar membuat Alin merasa bersalah. Buru-buru ia menambahkan,"Gak cerita juga ga papa."
Dan selama setengah jam ke depan mereka saling diam sambil memikirkan masalah mereka masing-masing tanpa mengusik kehidupan satu sama lain lebih dalam.
***
KAMU SEDANG MEMBACA
Remember Rain(bow)
Teen Fiction[Revisi cerita setelah selesai] Hujan bisa menciptakan kenangan untuk semua orang Manis, pahit, tangis, tawa Hujan bisa membuat kita teringat Akan semua kenangan yang pernah terjadi Seolah-olah mengulang kembali momen-momen dikala itu Rind...