BAB 20

399 22 0
                                    


Jendela kamar terbuka. Cahaya luar masuk menerangi sebagian kamarnya yang gelap tanpa lampu. Alin yang sedang berdiri di balkon kamar sengaja mematikan lampu kamarnya untuk mengurangi pemanasan global—bohong, deh! Ia sengaja mematikan lampunya agar bisa menikmati langit yang begitu indah dengan warna agak oranye dalam langit pekat karena hujan.

Semilir angin membelai wajahnya, memainkan rambut panjangnya yang dibiarkan tergerai. Dinginnya menusuk hingga ke kulitnya yang menggunakan baju tidur dress lengan panjang selutut berwarna putih. Namun, yang membuatnya begitu betah berada di luar adalah bunyi rintik hujan yang menyentuh atap dan gerimis kecil yang menyentuh bumi. Tangannya terulur mencoba merasakan titik-titik air yang jatuh di telapak tangannya dengan mata terpejam. Ia mencium dalam-dalam aroma lembab yang dihasilkan oleh gerimis.

Sepulang dari tempat Ali, ia berlari ke kamarnya dan mendapati Kak Naufal sedang menunggunya dengan wajah sebal. Ia sudah menunggu hampir satu jam di dalam rumah, namun gadis itu malah datang dengan senyum dan cengiran tidak jelas. Walau begitu, Naufal tidak akan pernah tega untuk memarahi dirinya. Lagipula hari ini adalah harinya. Kedua orang tuanya yang berada di London menelponnya dan mengucapkan selamat ulang tahun. Beliau mengatakan bahwa hadiah dari mereka sudah dikirim dan akan segera sampai besok.

Karena terlalu merindukan orangtuanya, ia mengubah panggilan menjadi video call. Begitu melihat wajah kedua orangtuanya, ia tak mampu lagi menahan air matanya. Rasa rindu itu sudah lama bergumul di dalam dadanya hingga kini berubah menjadi derai air mata. Apalagi adiknya, Alisha, berteriak heboh dan bertanya kapan ia berkunjung ke London. Mereka semua merindukannya, begitu juga dirinya. Namun, selalu ada yang kurang setiap tahunnya. Hanya satu orang yang teramat sangat dirindukannya...

"Kamu mau menakutiku dengan berpakaian seperti itu?"

Mata Alin terbuka ketika mendengar suara itu dari luar kamarnya. Ia melihat ke bawah dan mendapati seorang lelaki dengan jaket sedang terkekeh di bawah gerimis kecil. Hanya jaket yang melindungi tubuhnya tanpa payung.

"Alan," pekiknya senang. Sejurus kemudian ia mengerucutkan bibirnya pura-pura merajuk. "Apakah perempuan secantik aku terlihat menakutkan?"

Alan menyeringai. "Sekarang kamu bisa menggombal, padahal dulu kamu tidak pernah berani menatap orang lain dan mengajaknya bicara."

Alin kembali cemberut. Lelaki itu benar, dulu ia sangat pemalu. Tapi, semenjak ia pindah kesini, semuanya berubah. Ia menjadi lebih percaya diri dan berani menghadapi orang-orang.

"Tunggu..."

Gadis itu langsung berlari ke bawah dan keluar dengan membawa payung.

"Kenapa kamu hujan-hujanan, Al? Nanti kamu sakit," ucap Alin sambil memayungi Alan.

Alan menatap gadis di depannya sembari tersenyum penuh arti.

"Karena aku menyukai hujan," katanya. Dan kamu.

"Aku juga suka hujan."

Alan mengambil alih payung yang ada digenggaman Alin. Pandangannya tak pernah lepas dari gadis di depannya, memerhatikan wajahnya yang terlihat agak pucat dan letih. Namun, gadis itu tetap memaksakan sebuah senyuman di bibirnya.

"Orang-orang selalu berkata bahwa mereka begitu menyukai hujan. Tapi, pada kenyataannya mereka selalu bersembunyi di balik payung untuk menghindarinya." Alin menyetujui kata-kata Alan barusan. Faktanya memang begitu.

"Begitu juga dengan perasaan seseorang. Mereka selalu berkata bahwa ia menyukainya, tapi selalu bisa menyembunyikannya." Seperti dirinya, batinnya.

Alis Alin berkerut mencerna kata-kata Alan yang terakhir. Namun, konsentrasinya buyar ketika dirasakannya ada sesuatu yang dingin menyentuh kepalanya.

Payung itu tak lagi melindungi mereka dari gerimis yang mulai mereda, tapi masih menyisakan aroma lembab dan angin dingin yang membungkus mereka. Napasnya tercekat saat Alan mendekat kearahnya hingga menyisakan sedikit jarak di antara mereka. Lelaki itu membungkuk untuk menyejajarkan tinggi mereka. Gadis itu bisa merasakan hembusan napas hangat di wajahnya. Wajah lelaki di depannya begitu tampan dengan mata hitam dan tajamnya. Ini mengingatkannya pada memori saat pertama kali ia begitu menyukai hujan. Dan lelaki yang ada di depannya.

Tepukan di pucuk kepalanya membuatnya kembali ke alam sadar. Cengiran khas Alan membuatnya merona, tahu bahwa dirinya sedang mengamati Alan dengan terang-terangan.

"Jangan lupa napas," kekeh Alan.

Kepala gadis itu tertunduk untuk menyembunyikan rasa malunya dan pipinya yang mulai memanas. Dan saat itulah ia baru menyadari ada sesuatu yang berkilau melingkar di lehernya.

Hatinya begejolak senang saat melihat kalung berbentuk air seperti di drama Korea "49 days". Rasa hangat mengalir di hatinya ketika dirasakannya jaket Alan membungkus tubuhnya.

"Kamu benar. Tidak baik berlama-lama di bawah hujan apalagi dengan cuaca dingin seperti ini. Lebih baik kamu masuk dan segera tidur."

"Terus, kamu?"

"Aku akan pulang kalau kamu sudah masuk."

Alin menggeleng. "Maksudku kamu pulang seperti itu saja. Apa kamu ga kedinginan?"

Ada rasa bahagia mendengar Alin begitu mengkhawatirkannya. Andai saja bisa terus seperti ini.

"Rumah Ali dekat. Kamu tidak perlu khawatir. Nah, sekarang kamu masuk."

Gadis itu hendak protes, tapi , tapi Alan langsung mendorong tubuh Alin untuk masuk ke dalam rumah. Alin berbalik sebentar, melambaikan tangannya, dan mengucapkan selamat malam. Setelah ia masuk ke dalam rumah, lelaki itu pun berbalik dan meninggalkan halaman rumahnya. Alin terus menatap punggung lelaki itu dari balik jendela hingga dia menghilang dari pandangannya.

Ada alasan orang-orang berlindung di balik payung. Mereka bersembunyi bukan karena takut, menghindar bukan berarti membenci. Mereka punya cara sendiri untuk mengapresiasikan rasa suka mereka terhadap sesuatu.

Begitu juga dengan perasaan. Mereka tidak menunjukkannya karena mereka punya alasan dan alasan itu adalah pilihan mereka. Hanya saja pilihan itu bisa berakhir membuat kita sakit atau bahagia.

***

Remember Rain(bow)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang