"Bagaimana keadaannya, dokter?" tanya seorang wanita paruh baya ketika dokter yang biasa menangani Vita keluar. Ali langsung menoleh ke pintu dimana dokter yang menangani Vita keluar.
"Anda bisa ikut saya, nyonya."
Wanita paruh baya yang merupakan mamanya Vita berjalan mengikuti dokter. Ali memilih masuk ke ruang rawat Vita setelah para perawat membolehkannya masuk.
Kejadian di kafe tadi terjadi begitu cepat. Vita yang sedang memohon padanya tiba-tiba pingsan. Dirinya yang panik langsung menggendong Vita keluar kafe dan mencari taksi. Beruntung Vita datang bersama mama dan supirnya sehingga saat beliau melihat anaknya yang pingsan, mereka pun langsung membawanya masuk ke dalam mobil dan melarikan Vita ke rumah sakit yang biasa menjadi tempat merawat Vita.
Ali berjalan mendekat ke ranjang Vita. Wajah Vita yang sedang tidur terlihat pucat. Ia mengusap wajahnya kasar. Rasa putus asa menjalarinya. Berbagai masalah terjadi, dan sekarang Vita tidak bisa ia lepaskan begitu saja. Tapi, ia sangat menginginkan Alin dan tidak ingin menjauhinya. Apa yang harus ia lakukan?
Ketika ia memutuskan ingin keluar ruangan, sebuah tangan menahan pergelangan tangannya membuat Ali kembali berbalik dan menghadap Vita yang sedang menatapnya lemah.
"Jangan..." lirihnya. "Kumohon, jangan pergi lagi."
***
Suara musik menemani Alin yang sedang memasak di dapur. Hari sudah sore, dan sebentar lagi kakaknya akan pulang. Jadi ia ingin memasak makan malam untuk kakaknya sebagai bentuk ucapan terima kasih karena sudah mau menampungnya di sini.
Ting tong...
Bunyi bel tidak digubris oleh Alin. Suara musik yang ia putar dalam volume besar membuatnya tidak mendengar bunyi bel tersebut. Hingga beberapa kali bel berbunyi, ia tetap asyik memasak saos pastanya.
Setelah bunyi bel mereda, suara langkah kaki mendekati dapur. Kali ini Alin bisa mendengar bunyi langkah kaki tersebut. Ia tahu sudah saatnya Bagas pulang dari kantor.
"Bentar ya, kak. Alin lagi masak. Kakak ganti baju aja dulu terus langsung turun ke meja makan," ucapnya tanpa menoleh ke belakang. Bukannya melakukan apa yang Alin suruh, langkah kaki itu malah berjalan semakin mendekati Alin.
"Kak Ba—gas."
Alin reflek melepaskan spatula yang ia pegang ketika ia menoleh dan melihat siapa yang datang. Beruntung ia sudah mematikan kompornya saat ia berbalik tadi. Ia tidak menyangka akan bertemu dengannya lagi walaupun ia tahu cepat atau lambat hal itu akan segera terjadi. Tapi, posisinya ia masih belum siap dan tidak ingin bertemu.
"Alin... Kumohon jangan lari lagi," kata Naufal ketika ia melihat Alin mengambil ancang-ancang untuk kabur. "Kumohon jangan lagi."
Alin mengambil napas dalam-dalam. Ia mencoba melihat Naufal yang sedang menatapnya dengan sendu. Lelaki di depannya terlihat sedih dan frustasi.
"Apa yang salah dengan perasaan ini?" tanyanya dengan nada tinggi membuat Alin terkejut dan reflek mundur. Naufal yang menyadari nada suaranya langsung menggumamkan kata maaf.
"Tidak ada, kak. Hanya saja aku sudah menganggap kak Naufal sebagai kakaku sendiri. Aku tidak bisa kak." Alin berusaha mengatakannya dengan pelan dan sabar. Ia tidak ingin menyakiti perasaan kakaknya hanya karena ia menolaknya.
"Tapi aku tidak." Mata Naufal mulai berkaca-kaca. Alin menundukkan kepalanya memutuskan kontak mata dengan Naufal. Ia tidak sanggup melihat kakaknya yang menangis karenanya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Remember Rain(bow)
Teen Fiction[Revisi cerita setelah selesai] Hujan bisa menciptakan kenangan untuk semua orang Manis, pahit, tangis, tawa Hujan bisa membuat kita teringat Akan semua kenangan yang pernah terjadi Seolah-olah mengulang kembali momen-momen dikala itu Rind...