BAB 31

390 20 2
                                    


Selamat datang di 2018.

Sesuai janji update minggu pertama. Silakan dibaca :)

***

Bukankah titik hujan tak pernah bertanya, mengapa mereka harus meninggalkan tata langit saat harus jatuh membasuh bukit?-rectoverso

***

Setelah selesai mandi dan mengenakan baju, Alin memutuskan untuk turun ke dapur. Perutnya terus meronta ingin minta diisi. Ini karena dia hari sudah sore, ditambah hujan membuatnya semakin lapar. Bunyi berisik yang berasal dari dapur membuatnya mengernyit. Siapa yang membuat keributan di dapurnya? Bukankah mbak Dina juga sedang izin pulang kampung? Atau mungkinkah kak Naufal yang sedang memasak?

Dan Alin hampir terkena serangan jantung melihat Ali yang sedang sibuk membereskan kekacauan sedang ia buat. Air berceceran, pecahan kaca di sekitaran kaki meja, tepung yang berterbangan, bau gosong, serta asap yang menguap dari teflon di atas kompor.

"What the—"

"Jangan mendekat!" perintah Ali ketika Alin ingin mendekatinya. Ia masih sibuk membersihkan pecahan kaca dan membuangnya ke tempat sampah. Alin membuka jendela dapur sekedar mengeluarkan asap dan membiarkan udara segar masuk. Kemudian dia mendekati Ali membantunya mengelap air yang berceceran meski lelaki itu sudah melarangnya.

"Apa yang terjadi?" tanya Alin bingung. Seorang koki handal seperti Ali rasanya tidak mungkin membuat kesalahan dalam memasak, apalagi kekacauan yang dia timbulkan saat ini benar-benar seperti seseorang yang baru saja memegang alat masak. Hancur berantakan.

Ia duduk di kursi sambil menyandarkan punggungnya lelah sambil mendesah. Lalu ia memusatkan perhatiannya pada Alin yang duduk di sebelahnya sebelum ia membuang wajahnya ke depan.

"Hanya masalah dikit. Perutku sakit dan aku pergi ke toilet. Aku meninggalkannya terlalu lama, makanya makanan gosong. Aku panik dan terjadilah kekacauan ini," jelasnya cepat dengan wajah memerah. Ia terlalu malu untuk mengakui kebodohannya di depan Alin.

Suara tawa membuatnya menoleh. Alin kini sedang memegangi perutnya sambil tertawa menunjuk Ali. Ia malu, tapi melihat Alin tertawa bahagia seperti itu membuatnya senang. Jika hanya dengan seperti ini bisa membuat dia bahagia, ia rela melakukan kebodohan setiap harinya untuk Alin.

"Dan kamu pasti tidak menyadari wajahmu yang sudah belepotan tepung dan kecap, bukan?"

Tangan Ali bergerak ke arah yang ditunjuk Alin. Dan benar, pipinya penuh dengan tepung dan kecap. Hei, sejak kapan mereka berada di wajahnya? Mengapa ia tidak menyadarinya?

"Berisik!"

Saking malunya, Ali bangkit dari kursinya dan mengangkat teflon dari atas kompor. Tapi, karena dia tidak berhati-hati, tangannya malah menyentuh bagian pinggir teflon yang masih panas dan tangannya melepuh.

Prankkk...

"Aww..."

"Al, kenapa?"

Alin dengan sigap berdiri. Dilihatnya tangan Ali memerah karena luka bakar. Dengan sigap ia membawanya ke wastafel dan menggosok-gosok tangan Ali. Hal itu tak luput dari pandangan Ali. Bukankah Alin tak suka disentuh? Tapi sekarang Alin malah sibuk menggosok tangannya dengan air. Ini kemajuan pesat.

"Kamu baik-baik aja?" tanya Alin khawatir. Ia mematikan kran wastafel dan berjalan ke sudut dapur untuk mengambil kotak p3k. Setelah menyuruh Ali kembali duduk di kursi, ia pun mengobati luka bakarnya.

"Tidak apa-apa, Lin. Ini tidak parah," katanya, sedangkan Alin menatapnya garang dan kembali mengobatinya.

Dilihatnya Alin yang sedang serius mengobati tangannya. Wajah cantiknya tampak pucat dan tirus. Bukannya ia tidak tau apa yang menyebabkan gadis itu seperti ini karena kurang lebih ia juga turut andil dalam masalah Alin. Dan melihat senyum serta mendengar tawanya tadi adalah hal yang paling ingin dia lihat sejak sepekan ini. Apakah ia bisa membahas masalahnya sekarang?

Remember Rain(bow)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang