Suara berisik dari luar kamar mengganggu tidur Alin. Ia menggumam tak jelas dan semakin bergelut di balik selimutnya. Ia bisa merasakan cahaya yang masuk dari sela-sela ventilasi. Suasana pagi nan dingin karena salju semalan turun membuatnya ingin berlama-lama di atas kasus dan di balik selimut.
Klek...
"Yes, mom. And—look. Sleeping beauty still lay on her bed." Bagas membuka tirai jendela dan membiarkan cahaya masuk, lalu berjalan mendekati Alin dan menyingkap selimutnya dengan tangannya yang tidak memegang ponsel. Alin mengerang dan bergeliat dalam tidurnya.
"Woy, bangun! Udah siang, kebo! Gue mau pergi kerja," teriak Bagas sambil mengguncang-guncang bahu Alin agar gadis itu bangun.
Suara decakan malas keluar dari mulut Alin. Ia bangun dengan malas sambil mengusap wajahnya pelan sembari mengumpulkan nyawanya. Tatapannya beralih ke Bagas dalam balutan baju kerjanya saat ini sedang berbicara dengan mamanya di telpon. Hari ini dia sedang malas, tidakkah kakaknya itu mengerti?
"Nyokap lo pengen ngomong," kata Bagas sambil menyodorkan ponselnya.
Alin berdecak sambil menerima ponsel Bagas. "Nyokap lo kali," desisnya.
"Nyokap kita," ralat Bagas cepat.
Semalam, sesampainya mereka di apartemen Bagas, Alin langsung menceritakan kejadian saat Naufal menembaknya. Bagas tidak terlalu terkejut. Sebagai sesame lelaki, ia juga bisa merasakan kalau tatapan Naufal pada Alin berbeda. Ia tidak terlalu ambil pusing dan membiarkannya sambil mengira bahwa dirinya salah. Tapi, mendengar kejadian dimana Naufal menghajar Ali dan membiarkan Alin pergi membuatnya kesal. Bagaimana bisa ia membiarkan Alin pergi dan jalan sendiri? Bagaimana kalau anak itu kenapa-kenapa? Kemudian, berakhir dengan omelannya pada Alin karena bersikap kekanak-kanakan.
"Halo, sayang. Kamu tidak bilang kalau menginap di tempat Bagas?" tanya mamanya di seberang telepon.
Alin melirik kakaknya sekilas, lalu kembali fokus pada teleponnya.
"Iya, ma. Alin sama Kak Bagas terpaksa nginep disini gara-gara semalam ada badai salju."
Alin tidak terlalu melebih-lebihkan badai salju, yang pasti semalam salju turun dengan kencangnya. Lagipula, mamanya bertanya tentang menginap, itu artinya Bagas tidak memberitahu perihal Naufal dan dirinya. Tentu saja, Bagas tidak mungkin segila itu memberitahu masalah mereka.
"Oya, semalam Ali datang ke sini. Tadi pagi juga dia ke sini nyariin kamu. Kalian lagi ga ada masalah kan?"
"Oh," Alin melirik malas ke nakas dimana ponselnya tergeletak dan membiarkannya begitu saja. "Ponsel Alin mati. Nanti Alin hubungi dia." Ia sengaja membiarkan ponselnya mati, tidak ingin Naufal maupun Ali mengganggunya saat ini.
"Oya..." Ia berhenti sebentar mengambil jeda sambil melirik Bagas yang masih menantinya-ralat, ponselnya. Tatapannya menyiratkan Alin untuk cepat berbicara karena ia ingin ke kantor sekarang. "Lusa Alin mau pulang ke Jakarta. Alin udah pesen tiket pulang."
"Kok cepet?" tanya mamanya. Ada nada sedih dan kecewa saat beliau mengatakannya membuat Alin merasa bersalah. Tapi, ia tidak tahan berada di London lama-lama dan bertemu dengan Naufal. Tidak, untuk waktu dekat ini.
"Alin mau persiapan semester baru. Lagian berapa hari lagi Alin udah masuk."
"Oke," kata mamanya dan Alin secara refleks menghembuskan napas lega. "Bisa berikan teleponnya ke Bagas?"
Alin dengan senang hati menyodorkan ponsel Bagas dan dibalas Bagas dengan tatapan bertanya. Ia hanya mengangkat bahunya dan mengambil ponselnya. Ia turun dari ranjang untuk mencari colokan dan pengecas ponselnya agar baterainya terisi. Setelah selesai, ia kembali lagi ke ranjangnya dan Bagas sudah selesai menelepon.
KAMU SEDANG MEMBACA
Remember Rain(bow)
Teen Fiction[Revisi cerita setelah selesai] Hujan bisa menciptakan kenangan untuk semua orang Manis, pahit, tangis, tawa Hujan bisa membuat kita teringat Akan semua kenangan yang pernah terjadi Seolah-olah mengulang kembali momen-momen dikala itu Rind...