6. Arya Berubah

499 32 2
                                    

"Lo ngapain di sini?" tanyaku sedikit kesal.

Dia tersenyum. Terlihat manis, tetapi menyebalkan di mataku.

"Lo ngapain di sini?" tanyaku lagi dengan nada lebih tinggi.

"Kan tadi gue bilang, mau nemenin lo," jawabnya santai.

Mengapa enak sekali lelaki itu bicara setelah apa yang sudah dia lakukan kepadaku? Terlalu tidak tahu malu orang seperti Arya itu.

Aku mendengus sambil membuang arah pandangku.

Beberapa detik lengang.

"Mendingan lo pergi sekarang," ucapku sambil menatapnya tajam.

Dia terlihat biasa saja, tidak bergerak. Wajahnya masih terlihat santai, seakan ucapanku tadi hanya angin lewat.

"Kak Arya," panggilku menahan emosi.

"Iya, Sayang?"

Aku kembali mendengus.

Kali ini, aku membenci pikiranku sendiri. Mengapa ia memutar kembali memori tentang Arya ketika aku masih bersama—ralat, aku tidak pernah benar-benar bersamanya, sekaligus tidak ingin mengulang kesalahan serupa. Aku betul-betul tidak ingin bersamanya.

Mirisnya, realitanya, aku pernah bersamanya. Ini adalah mimpi buruk di antara seluruh mimpi buruk dari yang terburuk yang pernah kualami di dunia nyata. Semoga tak ada mimpi buruk-mimpi buruk lainnya setelah ini.

Kalau mau jujur, sebenernya Arya masih biasa-bisa saja. Dia cukup baik, normal, seperti orang lain pada umumnya. Namun, satu yang membuatnya beda, yaitu caranya memperlakukanku dan menganggap hubunganku dengannya selama ini. Itu yang membuatnya buruk di mataku, seperti ia tidak lagi mempunyai perasaan dan hati.

Aku membenci Arya.

"Apaan sih, lo. Lo tuh nggak tau malu, ya?" tanyaku dingin.

Arya tersenyum sambil terkekeh kecil. Kakinya berselonjor dan satu tangannya merangkul sandaran kursi di sebelahnya. Cih, terlihat menyebalkan.

"Terus maunya dipanggil apa? Babe?" tanyanya dengan suara yang direndahkan.

"Lo tuh, babi," kesalku.

"Duduk," perintahnya sambil menunjuk kursi di hadapannya dengan dagunya.

"Nggak," jawabku.

Dia berdecak. "Duduk, Ghania."

"Gue nggak mau. Kalau nggak mau ya nggak usah dipaksa," bantahku.

Sudah, kali ini aku sudah muak. Aku tidak ingin terus-terusan berada di hadapannya, tidak lagi.

Aku menaruh nampan berisi pesananku di meja seberang, lalu berniat mengambil tasku yang ada di meja tadi.

Secepat kilat Arya mengambil tasku dan mengamankannya.

Aku melotot menatapnya. "Sini, nggak?!"

Arya terkekeh sambil menatapku tajam, tatapan yang selalu kuhindari. "Duduk dulu sama gue."

"Nggak!" jawabku. "Kalau lo nggak balikin, gue bakal...."

"Bakal?" Arya mengangkat satu alisnya. "Bakal nyium gue?"

Aku melotot. "Udah gila lo, ya?!"

Pria itu tertawa. "Tinggal duduk doang susah amat, sih. Ayo coba lanjutin, lo bakal ngapain?"

Aku berpikir keras. "Gu... gue bakal laporin ke guru BK kalau lo senioritasin gue!"

Arya terkekeh. Senyum miringnya masih tersungging, teramat menyebalkan. "Lo pikir guru BK bakal peduli? Nggak akan, kecuali gue senioritasin lo di sekolah, ini kan di luar sekolah."

Ghani | ✔️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang