Drrrt! Drrrt!
Suara getar telepon membuatku bangun dan perlahan membuka mata. Tanganku terangkat untuk meraih ponsel.
Drrrt!
"Halo," panggilku setelah mengangkat telepon tanpa melihat siapa yang menelepon.
"Ghan?"
Kujauhkan ponsel dari telinga, melihat samar-samar nama si Penelepon. "Iya, Kak Rey. Kenapa?"
"Lo baru bangun tidur, ya?"
"Hmm," jawabku. Kesadaranku belum sepenuhnya kumpul. Kulirik jam digital di atas nakas sebelah kasurku. Masih jam lima pagi. "Kenapa telepon jam segini?"
"Sorry kalau gue ganggu lo. Hari ini lo sekolah, nggak? Tadi malam lo lupa ngabarin gue."
Aku terdiam sebentar. Memang aku lupa ngabarin Kak Rey sebelum tidur—seperti yang ia minta. "Sekolah."
"Mau gue jemput?"
"Nggak usah, Kak. Makasih," jawabku. Aku memang tidak enak karena merepotkan orang lain terus.
"Terus, lo naik apa?" tanya Kak Rey. "Gue jemput aja, ya. Nyokap lo juga udah ngizinin gue, malah minta tolong nganterin lo lagi pas pulang."
Kedua bola mataku terputar seketika. Mama ini udah seperti menganggap Kak Rey sebagai kakakku saja. "Mama bilang gitu?"
"Iya, tadi malam. Lo udah tidur, makanya nggak jawab telepon gue."
Mulutku kembali terkunci beberapa detik.
"Jadi, mau gue jemput?"
Aku menghela napas sebentar. Sejujurnya aku sedang ingin sendiri. Namun, yasudahlah. "Yaudah. Makasih ya, Kak. Sorry gue ngerepotin lo terus."
"It's okay, Ghan. Gue jemput jam enam, ya. Bye."
"Bye," pungkasku seraya mematikan sambungan telepon.
Tanganku segera meletakkan ponsel di kasur. Kepalaku masih terasa pusing. Tak lama kemudian, aku buru-buru beranjak dan melakukan rutinitas pagiku.
***
Aku memakan bekal makananku dengan tidak terlalu bersemangat.
Tiba-tiba Afra duduk di kursi Rifah, tepat di sebelahku. Kelasku sedang tidak ada guru, karena gurunya berhalangan hadir.
"Ghan," panggil Afra.
Aku menoleh ke arahnya tanpa menjawab apa pun.
"Gu—"
Drrrt!
Drrrt!
Refleks kepalaku tertoleh ke sumber suara. Ternyata ponselku bergetar.
Ketika melihat siapa nama si Penelepon, aku mengerutkan dahi.
"Siapa?" tanya Afra.
"Kak Ibra," jawabku.
"Angkat dulu aja," ujar Afra.
Tanganku segera menekan ikon telepon berwarna hijau.
"Halo, Kak," sapaku melalui sambungan telepon.
"Halo, Ghan. Sorry, Ghan, bisa tolong kasih laporan keamanan ke Rama, nggak? Gue di-opname lagi, Ghan. Laporannya harus dikumpulin hari ini."
Aku terdiam, belum menjawab ucapan Kak Ibra di telepon. Malas sekali bertemu dengan orang yang sedang kuhindari. Terlebih, perasaanku sedang campur aduk. Statusnya masih bahaya. Takut keraguanku membuatku berubah pikiran.
KAMU SEDANG MEMBACA
Ghani | ✔️
Ficção AdolescenteNamanya Ghani, hobinya stalking, kepoin orang-orang yang buat dia dan teman seperjuangannya penasaran. Hidup Ghani tenang-tenang aja sebelum pacaran sama seniornya, Rama. Bukan, Rama bukan most wanted sekolah, bukan juga bad boy yang kalian bayangin...