22. Latihan Bareng

331 25 0
                                    

Aku tertawa. Candaan Gilta tergolong lucu, sampai-sampai beberapa seniorku dan guruku ikut tertawa.

"Badak gunung itu, yang nggak pernah mandi. Gede banget badaknya, nggak bisa jalan kayak lawannya si Ibra!" seru Pak Diono—guru silatku, ia mulai melucu.

Kami menyeringai sambil tertawa palsu. Pak Diono memang hobi banget ngereceh.

"Iyak iyak iyaaak!" sahut Kak Ibra yang sebenarnya telah geram dengan candaan receh Pak Diono, tetapi geramnya itu semacam greget, bukan geram karena kesal.

Kak Rama duduk di sebelahku. Ia terlihat tenang, sesekali tertawa kalau memang ada yang lucu.

"Udah deh, segitu aja. Ghani, semoga kamu cepat sembuh ya, kakinya," ujar Pak Diono kepadaku. "Sebentar lagi ada turnamen soalnya. Sayang kalau kamu nggak ikut. Kalau sudah siap langsung hubungin Rama, ya, biar didaftarin. Eh? Rama mau off dulu, ya, mau fokus kelas dua belas? Yaudah, kamu hubungin Afif aja langsung."

Aku mengangguk sebagai jawaban. Kak Afif adalah salah satu seniorku di perguruan silat ini. Orangnya cukup seram, dingin, tetapi keren. Saat ini, ia sedang membuka pintu mobil putihnya di parkiran sana, lalu menenteng sebotol air dan handuk.

Kami—murid-murid dari Adyaktu—beranjak.

"Yaudah, Pak. Kita pulang dulu, ya," pamit Kak Ridwan yang dijawab anggukan kepala oleh Pak Diono.

"Hati-hati ya, kalian." Pak Diono mengingatkan.

Kami mengangguk.

"Ghani pulang bareng-bareng?" tanya Pak Diono kepadaku.

"Sama Rama dia Pak, biasa." Teman-temanku menyeringai menatapku dan Kak Rama.

Kak Rama terkekeh. Aku hanya tersenyum.

"Awas aja, ya, kalau udah bubaran malah nggak mau latihan lagi," ucap Pak Diono, bercanda.

"Gilta, Jasmine, Lia pulang naik apa?" tanya Pak Diono yang menatap Kak Jasmin, Kak Lia, dan Gilta.

"Diantar supirnya Kak Jasmine, Pak," jawab Gilta.

Pak Diono mengangguk.

"Yaudah, hati-hati." Pak Diono menatap kami yang sudah memakai alas kaki.

"Kak, kita pulang dulu, ya," ucap kami kepada senior-senior di sini.

Satu persatu dari kami salaman kepada para senior.

"Hati-hati, ya," ujar Kak Prima.

Kami mengangguk, lalu pamitan dengan senior yang lain.

"Ghani, jangan lupa hubungi saya kalau sudah siap tanding," ujar Kak Afif yang tiba-tiba menghampiriku. "Saya diminta Pak Diono ngelatih kamu langsung."

Aku sedikit terkejut mendengarnya, tetapi secepat mungkin mengangguk. "Siap, Kak. Saya pulang dulu, ya."

Lawan bicaraku hanya mengangguk. Tak ada kata-kata perpisahan seperti yang senior lain ucapkan. Kak Afif memang beda.

Aku dan Kak Rama segera berjalan menuju parkiran.

"Ghania. Nih, helmnya." Kak Rama menyodorkan helmnya kepadaku.

Aku menerimanya dan memakainya.

Kak Jasmine, Kak Lia, Kak Ibra, Kak Ridwan, dan Gilta telah masuk ke dalam mobil Kak Jasmine sebelum mobil itu meninggalkan area parkir.

Setelah dirasa siap, aku naik ke atas motor Kak Rama sambil berpegangan dengan bahu pria itu. Sebelum melaju, Kak Rama membunyikan klakson dua kali, menandakan pamit kepada para senior dan Pak Diono.

Ghani | ✔️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang