35. Ghani is Back

262 19 1
                                    

Kemarin, ada kurir yang datang ke rumahku malam-malam mengantarkan laporan keamanan yang dua hari lalu kujatuhkan di ruang pramuka. Akan tetapi, kata petugas kurirnya, pengirimnya tidak mau dibeberkan identitasnya. Walaupun tidak ada identitas, aku yakin sekali kalau laporan ini pasti dari Kak Rama. Hanya sedikit orang yang tahu alamat lengkapku—salah satunya Kak Rama. Dulu ia sering nitip pesan barang dan diantar ke rumahku. Selain itu, dulu ia juga... sering mengirimkan hadiah kepadaku.

Lagi pula, jika ini betul-betul dari Kak Rama, untuk apa pria itu mengantarkan laporan keamanan yang seharusnya ia keep? Kurang kerjaan banget.

Ah, kalau begini ceritanya. Aku harus mengantarkan lagi laporan keamanan ke Ketua Badan Pengawas Yang Ngeselin itu—semalam aku sudah bertanya mengenai hal ini ke Kak Ibra, ia bilang harus diantarkan kembali. Malas sekali rasanya.

Selama dua hari, aku memberanikan diri untuk tidak memikirkan hal-hal yang membuatku lelah. Kubuka kembali akun-akun yang kugunakan untuk stalking. Meskipun rasanya masih hambar, setidaknya aku sudah berusaha untuk move on. Kuharap, dengan kembalinya diriku menjadi stalker, aku bisa lupa masalah-masalah yang sedang kuhadapi.

Tiba-tiba ponselku bergetar, ada telepon masuk.

Nama yang tertera di layar membuatku deg-degan setengah mati. Bagaimana tidak? Yang meneleponku adalah harimau perguruan silatku. Aku memang sudah mulai berlatih untuk pertandingan tingkat kota beberapa bulan lagi.

Segera kupencet ikon telepon berwarna hijau.

"Selamat pagi, Ghania."

Deg.

Bukan. Yang menelepon bukan Kak Rama. Ada satu lagi orang yang memanggilku seperti itu—malah biasanya memanggilku dengan nama lengkap.

"Halo, Kak. Selamat pagi," jawabku berusaha sesopan mungkin.

"Maaf ganggu. Saya cuma mau ngingetin, jadwal latihan sudah saya kirimkan di chat kamu."

"Oh? Iya, Kak. Makasih ya, Kak Afif. Nanti saya cek jadwalnya," jawabku ramah, meskipun si Penelepon nadanya tidak ada ramah-ramahnya. Malah terdengar dingin.

"Ok. Selamat pagi."

"Pag—"

Sambungan diputuskan sepihak oleh si Penelepon Yang Ngeselin.

Mengapa nasibku selalu seperti ini sih, diputuskan sepihak?

Udah, Ghan, nggak usah dramatis.

Tanganku segera meletakkan kembali ponsel di meja.

Drrrt!

Drrrt!

Ada yang meneleponku lagi. Segera kuangkat.

"Halo, Ghani. Di mana?" tanya Kak Rey dari seberang sana. Ia terdengar sedang buru-buru.

"Sekolah," jawabku pendek.

"Oh, gue kira belum berangkat. Mau gue jemput," balas Kak Rey.

"Iya, Kak. Udah sampai sekolah dari tadi," sahutku—sedikit membanggakan diri.

Terdengar kekehan dari seberang sana. "Sombong lo, mentang-mentang nggak telat."

Diriku balas terkekeh.

"Yaudah, Ghan. Gue masih di jalan. See you. Bye."

"Bye," pungkasku, kemudian mematikan sambungan telepon.

Akhirnya, kali ini aku tidak diputuskan secara sepihak.

Kutatap wallpaper ponselku sejenak. Foto yang sama. Orang yang sama.

Ghani | ✔️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang