Satu minggu kemudian.
Aku duduk di hadapan komputer sambil menatap monitor komputer dengan tatapan gembira.
Kak Rey putus sama pacarnya.
Jujur aja aku senang. Akhirnya waktu yang kutunggu-tunggu datang.
Oh, iya. Ada sesuatu yang mau kuceritakan perihal tiga hari lalu.
Aku duduk bersama Kak Rama di lorong lantai satu sambil menikmati makan siang. Kebetulan sekali Kak Rey dan teman-temannya sedang main basket di lapangan.
Pandanganku beberapa kali terpusat ke arah lapangan. Kak Rama menyadari hal itu.
"Rey, Ghan?" tanya Kak Rama.
Aku melotot kaget.
"Udah gue duga," ujar Kak Rama. "Lo suka sama dia?"
Aku terdiam sesaat. Tidak tahu harus menjawab apa.
"Nggak apa-apa, kok," lanjut Kak Rama. "Bukan kendali gue buat ngatur siapa yang harus lo suka."
Aku tertegun. Entah mengapa ucapan Kak Rama terdengar menusuk.
"Gue nggak mau lo malah jadi terpaksa sama gue," Kak Rama masih berbicara. "Lanjutin apa yang lo suka, Ghan."
Aku masih terdiam menatap lelaki di sebelahku. Ia tersenyum, tulus sekali, lalu mengusap pucuk kepalaku.
Aku terlihat seegois itu, ya?
Aku terdiam memikirkan percakapanku dengan Kak Rama tiga hari lalu. Walaupun Kak Rama bilang tidak apa-apa, tetap saja tidak enak. Pasti rasanya sakit sekali. Namun, kalian juga harus tahu. Perasaanku pun bukan hal yang bisa kukendalikan harus stop di mana. Pasalnya, sebelum Kak Rama confess ke aku beberapa minggu lalu, aku memang udah suka sama Kak Rey.
Kalau boleh jujur, aku malah semakin menjadi-jadi fangirling-in Kak Rey. Nggak ngerti juga kenapa bisa seperti ini. Biasanya, aku fangirl berat itu cuma sama artis-artis, tapi sekarang? Kalian tahu sendiri jawabannya.
Aku menghela napas. Sebagian hatiku menerima fangirling ini, sebagiannya memihak Kak Rama. Kurasa ini cukup aneh, jadi kubiarkan rasa ini mengalir layaknya air.
"Ghan, lo nggak pergi?" Mas Adit melempar bantalnya ke arahku. Tangannya yang lain masih asyik memegang stik Play Station yang sedang ia mainkan.
Mas Adit itu sepupuku. Aku lagi nginap di rumahnya, karena hari ini adalah hari Sabtu. Jadinya, ini hari Sabtu bersama Mas Adit.
Aku menggeleng menjawab pertanyaan Mas Adit.
Laki-laki berumur dua puluh tahun itu terkekeh, lalu mengambil chiki miliknya yang masih tersisa setengah.
"Mas," panggilku kepadanya, lalu telentang di kasur lipat miliknya yang melapisi lantai.
"Hm?"
"Lo pernah disukain orang, nggak?" tanyaku polos.
Dia balik badan. Kini pria itu menghadapku, kemudian tertawa. "Nggak salah pertanyaan lo? Lo nggak liat betapa banyaknya notif gue tiap lo buka hand phone gue?"
Aku memutar bola mata malas. "Bukan gitu. Misalnya, nih, lo disukain orang, dia kakak kelas lo, deket sama lo juga udah lama. Selama ini lo cuma nganggap dia kayak kakak sendiri aja, tapi ternyata dia nganggapnya lain."
Mas Adit melepaskan stik PS-nya, lalu menghadapku.
Beberapa detik lengang.
Aku refleks bangun karena merasa tidak ada suara yang dikeluarkan oleh Mas Adit.
KAMU SEDANG MEMBACA
Ghani | ✔️
Teen FictionNamanya Ghani, hobinya stalking, kepoin orang-orang yang buat dia dan teman seperjuangannya penasaran. Hidup Ghani tenang-tenang aja sebelum pacaran sama seniornya, Rama. Bukan, Rama bukan most wanted sekolah, bukan juga bad boy yang kalian bayangin...