11. Back to Normal

424 24 0
                                    

Setelah kejadian seminggu yang lalu, saat Arya benar-benar menyatakan kepergiannya, aku benar-benar merasa ganjil. Entah mengapa, seperti ada yang hilang. Padahal, dulu Arya sudah cukup lama meninggalkanku. Hal ini mungkin wajar untuk orang yang baru putus.

Aku sudah jarang melihat Arya. Sesekali bertemu di sekolah. Dia memalingkan wajahnya, sama seperti dulu ketika ia menjauhiku tanpa alasan, tetapi rasanya tidak sesakit waktu itu. Rasa kesal dan benciku sukses membuatku move on kilat.

Kehidupan tetap kehidupan, apa pun yang terjadi, aku harus menerimanya. Memang aku yang menyuruhnya untuk pergi, mengapa harus merasa sedih?

Nggak apa-apa, Ghani. Sedih itu manusiawi.

Aku tidak menyesal pernah bertemu Arya. Tidak pula menyesal pernah dekat, bahkan pernah bersama, karena aku banyak belajar dari hubunganku dengannya. Seharusnya aku harus memahani sifatnya dulu sebelum menerimanya menjadi pacarku, bukan malah langsung mengiyakan karena dimabuk cinta.

Aku sadar letak kesalahanku. Arya mungkin akan tetap menjadi kakak kelas yang kusegani dan kuhormati jika tak pernah ada kisah spesial di antara kami. Biarlah, aku harus mengikhlaskan apa yang sudah terjadi.

Kini, aku sedang melanjutkan tugasku, yaitu menyelesaikan ceritaku dan mulai nge-stalk lagi, yes!

"Hmm," gumamku sambil fokus menatap layar komputer, memikirkan ending yang baik untuk ceritaku.

"Oke!" Akhirnya aku mendapatkan ide.

"I have done!" teriakku setelah lima belas menit menyelesaikan ending karya tulisku.

Aku mulai membaca ulang ending cerita yang kubuat, lalu menyeka air mata tanda sedih. Ending tersebut tidaklah bahagia, makanya aku sedih.

"Kenapa si Firzanya harus mati..." gumamku.

Bagi kalian yang suka membaca novel, kemudian selalu mendalami karakter tiap tokoh dan alurnya, kalian pasti akan mengerti mengapa aku menangis.

Setelah membaca sampai habis, aku segera mengabari teman seperjuanganku.

Ghanianastasya: WOY GUE UDAH SELESE BUAT AMARZA!1!1!1!1!1!1!!1!1!

Aku berteriak heboh lewat obrolan grupku bersama Azaria dan Afra. By the way, Amarza itu judul dari ceritaku.

Kuletakkan hand phone dan segera mematikan komputer. Kulihat jam dinding di kamarku, jarum pendek di angka dua dan jarum panjang di angka dua belas. Sudah jam dua pagi, tetapi aku belum juga tidur.

"Besok ulangan Matematika. Please, gue mau mati aja," ujarku frustrasi setelah mengingat bahwa besok ada ulangan mata pelajaran Matematika.

Aku segera menyiapkan buku pelajaran untuk besok, lalu beranjak ke kasur untuk segera tidur—tak lupa juga mematikan lampu kamar.

Setelah mendapatkan posisi nyaman di atas tempat tidur, aku segera memeluk guling, memiringkan tubuhku ke arah kanan, lantas membaca doa. Tak lama kemudian, semuanya gelap. Aku tak mengingatnya.

***

"Adek! Kamu mau bangun kapan jam segini belum bangun?!" teriak ibuku yang samar terdengar di telingaku, tetapi lama-lama nyaring.

Kulihat jam dinding yang sedang menunjukkan pukul lima pagi.

Aneh, perasaan baru sepuluh menit aku tidur.

Tubuhku segera beranjak untuk bangun, lalu berjalan ke kamar mandi untuk mengambil air wudhu. Diriku langsung menunaikan ibadah sholat Subuh.

Setelah ibadah, aku mandi, kemudian rapi-rapi secepat mungkin agar tidak terlambat. Aku ingin menghilangkan kebiasaanku sejak SD, yaitu terlambat datang ke sekolah.

Ghani | ✔️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang