18. Berdua

365 20 0
                                    

Ini mimpi? Semoga aja.

Tetapi nyatanya tidak. Ini nyata.

Aku diam, tidak berniat menjawab apa pun. Sampai akhirnya Kak Rama kembali membuka suara.

"Dari lo yang bersedia dengerin semua curhatan gue dan selalu menanggapi dengan positif, bahkan nggak pernah kelihatan bosen, gue tahu lo tuh tulus. Maaf kalau gue bikin lo kaget karena confess di sini dengan keadaan kayak gini.

"Sebenarnya udah lama gue mau bilang, karena gue takut nyesel kalau nggak pernah bilang sama lo. Tapi, lo aja masih jadian sama Arya waktu itu, plus waktunya selalu nggak tepat tiap gue mau ngomong. Nggak mungkin, dong, gue confess pas lo masih jadian atau baru putus? Bisa perang dunia tiga gue sama Arya. Gue cuma mau lo tau, itu aja," Kak Rama melanjutkan pembicaraannya.

Aku mendunduk. Tidak menyangka kalau selama ini Kak Rama memendam perasaan seperti itu. Diriku betul-betul tidak tahu harus apa sekarang.

Kak Rama tersenyum. "Nggak minta jawaban lo, kok. As I said, gue cuma mau jujur."

Aku memberanikan diri menatap Kak Rama, lalu tersenyum. "Maaf, Kak. Gue nggak bisa ngasih comment apa-apa."

Kak Rama kembali tersenyum. Ia mungkin mengerti keadaanku. "It's okay."

Aku menghela napas panjang.

"Gue nggak mau ada yang ngusik lo, gue nggak suka," sorot mata Kak Rama kembali kesal. "Apalagi tindakan bullying. Asli, gue nggak tahan buat nggak angkat kasus ini, Ghan. Gue punya janji sama semua warga sekolah, terlebih sama diri gue sendiri."

Aku kembali menatap Kak Rama. "Kak, sorry sebelumnya, gue tau ini mungkin melukai nilai-nilai yang lo junjung tinggi, tapi kalau gue nggak mau hal ini diangkat, lo nggak bisa maksa. Bullying itu terjadi kalau gue merasa ter-bully. Memang iya, gue ngerasa di-bully tadi, tapi sekarang nggak. Gue juga udah balas tindakan yang sama ke dia. Jadi, gue rasa nggak perlu dibahas lagi."

Kak Rama terdiam beberapa detik. "I just want you to be okay and comfortable with me."

Aku benar-benar tidak tahu harus melakukan apa sekarang, karena memang aku sama sekali nggak punya perasaan sama Kak Rama. Aku hanya menganggapnya sebagai senior paling baik dan hebat di Adyaktu selama aku sekolah di sini.

Aku baru sadar sekarang.

"Maafin gue, Kak," tuturku kepada Kak Rama.

"Ngapain minta maaf mulu, anjir," jawab Kak Rama seraya tertawa. "Gue yang salah, kali. Kebaperan duluan, ya? Padahal mah, lo baik ke siapa aja."

"Eh? Enggak kok. Lo baik banget, Kak, makanya gue juga santai aja sama lo," jawabku yang merasa tidak enak. "Sorry kalau lo ngerasanya beda."

Dia mengusap pucuk kepalaku, lalu tersenyum sambil memandangku. "Lo lucu banget asli."

Aku mengalihkan pandangan karena malu, entah mengapa pipiku terasa panas. "Jangan ngeliatin gue kayak gitu, ah."

Kak Rama tertawa.

"Ghan," panggil Kak Rama. "Gue boleh nanya, nggak?"

"Nggak," jawabku, lalu terkekeh seraya menoleh ke pria di sebelahku. "Ya bolehlah. Kayak sama siapa aja lo."

Kak Rama kembali memandangku seperti tadi. Pandangan yang baru kusadari berbeda. Senyum tipisnya membuatku salah tingkah kali ini.

"Kak!" ujarku setelah beberapa detik lelaki itu tak memalingkan matanya dariku. "Mata lo gue semprot, ya, kalau masih ngeliatin gue begitu. Nggak mau, ah. Gue jadi awkward."

Ghani | ✔️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang