Aku tidak tahu harus bagaimana dan aku tidak mengerti jalan pikiran Arya itu gimana?
Aku sudah meminta lelaki itu untuk pergi. Jangan pernah ganggu aku lagi, tetapi tetap saja dirinya keras kepala dan terus saja menggangguku.
Untuk yang kesekian kalinya, aku ingin berkata, aku membenci Arya!
Aku sadar, teramat mencintai juga dapat menimbulkan perasaan benci yang teramat juga. Aku pun sadar setelah mengingat kejadian lama tadi, Arya tidak pernah benar-benar menginginkanku, kelihatan dari usahanya mendapatkanku yang terbilang kecil. Ia selalu seenaknya sesuai kemauannya.
Kini aku juga ingat nasihat lama, sesuatu yang berlebihan itu tidak akan baik, termasuk mencintai.
Aku tidak tahu harus menghampiri Arya di depan rumah dan mengajaknya masuk ke dalam rumah atau membunuh Arya di depan rumah dan menguburnya di kebun sebelah, itu pilihan yang sama-sama sulit. Atau mungkin, membiarkannya berdiam diri di depan rumah hingga ia lelah lalu pergi.
Sepertinya, pilihan ketiga lebih baik dari pilihan-pilihan sebelumnya. Baik, aku akan melakukannya.
Aku menyambungkan earphone berwarna merah bergambar lambang Manchester United ke ponsel, lalu memasangkannya di kedua telingaku, lantas memencet tombol volume hingga volume tertinggi.
Diriku bernyanyi keras-keras, tidak peduli jika ibu atau kakak dan adikku marah karena kebisingan suaraku, atau bahkan... ketiganya marah secara bersamaan. Terdengar horror, tetapi aku tetap tidak peduli.
Sampai pada akhirnya, ibuku menarik paksa kabel earphone dari ponselku hingga terlepas, lalu berkacak pinggang di hadapanku.
"Kenapa sih, budek banget kalau lagi dengerin musik?" tanya ibuku kesal.
"Ya iyalah, Ma. Mana denger ada orang ngomong?" jawabku sedikit kesal.
Aku menatap ibuku malas dan berniat mengambil kabel earphone milikku untuk kembali menyambungkannya ke ponsel.
"Mau ngapain?!" tanyanya garang.
"Orang lagi dengerin musik juga." jawabku. "Mama mau ngapain?"
"Ada Arya itu di depan. Bukannya ditemuin, malah teriak-teriak di sini," jawabnya heran.
"Nggak penting," gumamku tidak peduli. "Bilang aja Ghani tidur."
"Nggak enak itu anak orang nungguin. Setidaknya temenin dulu sebentar, terus bilang kamu mau ngerjain tugas, nanti juga dia pulang sendiri," pinta ibuku lagi.
Aku hanya diam. Malas sekali rasanya jika harus menemui Arya.
"Adek? Kamu denger Mama, nggak?"
"Iya, Mama."
"Iya-iya doang nggak dijalanin, ya, sama aja."
"Iya, Ma."
Aku terdiam. Ibuku memang bisa menyebalkan seketika ketika ada temanku yang datang. Menyebalkannya ke aku aja, ke temanku mah baik. Terlebih ini Arya. Ibuku memang menyukai laki-laki itu, karena Arya memang terlihat baik dan sopan di hadapan semua orang. Itu memang daya tariknya. Tak bisa kupungkiri bahwa itu benar.
"Adek, cepetan temuin dulu Aryanya," perintahnya lagi.
"Aku nggak mau, Mama," jawabku sambil mengembuskan napas lelah.
"Adek?!"
Sepertinya ibuku sudah kesal karena aku terlihat tidak memedulikannya.
"Iya, iya!" Aku beranjak dari kasur dan segera berjalan ke ruang tamu untuk menemui manusia jelmaan setan, Arya Prakasa.
KAMU SEDANG MEMBACA
Ghani | ✔️
Teen FictionNamanya Ghani, hobinya stalking, kepoin orang-orang yang buat dia dan teman seperjuangannya penasaran. Hidup Ghani tenang-tenang aja sebelum pacaran sama seniornya, Rama. Bukan, Rama bukan most wanted sekolah, bukan juga bad boy yang kalian bayangin...