Label Seorang Murid

7.9K 300 0
                                    

Aku ingin sekali membulatkan tekad untuk rajin sekolah dan belajar, tetapi melihat ayahku yang sama sekali tidak memperhatikan sekolahku, aku hanya bisa melakukan hal yang sama.

Berbeda dengan kakakku, walaupun kami tidak tinggal serumah tetapi setiap ia menengok kami, kak Raisa selalu menanyakan perihal perkembangan sekolahku, tetapi bukannya masukan atau semangat yang aku terima melainkan hanya tuntutan atau omelan karena nilaiku yang tak sesuai harapan kak Raisa.

Aku tahu bahwa aku tidak terlalu pandai seperti kakakku, tetapi harusnya ia menghargai hasil jerih payah dan usahaku karena sudah berhasil sejauh ini membagi waktu antara sekolah dan mengurus hidupku tanpa bantuan siapapun.

Tetapi hari ini dengan terpaksa aku tak menuruti egoku untuk membolos dari sekolah.

Di sekolah sendiri terdapat beberapa macam jenis murid. Ada yang kutu buku, ada segerombolan pengacau, murid-murid nakal, ada juga beberapa geng cewek yang sering membully cewek lain yang lebih jelek atau tidak populer daripada mereka, geng cowok jago olahraga yang menjadi idola murid-murid cewek baper, ada pula sekumpulan murid-murid alim alias anak rohani islam atau rohani kristen, ada murid yang lebih mementingkan kegiatan eskul daripada sekolah, dan yang terakhir adalah murid biasa saja, bahkan mereka tidak mempunyai label apapun karena mereka selalu menyeimbangkan kegiatan sekolah, eskul, belajar dan kadang sesekali melakukan pelanggaran, sehingga murid-murid ini tidak begitu terkenal diantara yang lainnya.

Dan disitulah aku berada.

Aku tidak mempunyai geng di sekolah, mungkin karena aku tidak begitu suka sekolah dan belajar. Menurutku belajar itu membosankan ditambah tuntutan guru untuk meraih nilai yang tinggi, tidak hanya itu setiap harinya kita dijejali oleh tugas yang kian hari kian menumpuk hingga bisa membuat otak kita meledak.

Sahabat dekat pun sepertinya aku tak punya karena dari kelas satu sampai kelas tiga sekarang teman yang aku cukup kenal baik hanya Martha dan Rina, biarpun kadang mereka sedikit menyebalkan tetapi hanya mereka berdua yang menganggapku seorang teman, mungkin karena mereka kasihan kepadaku, tetapi walaupun begitu aku sangat menyanyangi mereka.

Pernah sekali terpikirkan olehku untuk berhenti sekolah, tapi sesudahnya mau jadi apa aku, apa ada perusahaan yang mau menerima karyawan yang hanya lulusan SMP, atau mungkin aku akan bernasib sama dengan Juna menjadi pelayan minimarket seperti yang dikatakan Feri kemaren, atau lebih parah lagi yaitu pembantu rumah tangga, sampai sekarang aku belum memikirkannya.

Tetapi akhir-akhir ini beberapa guru dan murid lain mulai mengenalku. Dari nilaiku yang selalu rendah dikelas sampai ketahuan tidak hadir di beberapa jam pelajaran, padahal tiga minggu lagi akan diadakan ujian tengah semester.

Dan sepertinya tekadku hari ini hanya bertahan sampai mata pelajaran ke tiga dan untuk yang kesekian kalinya aku berhasil meloloskan diri pada jam pelajaran terakhir.

" Sep mau kemana lu, mau bolos lagi?" tanya Martha yang melihatku sudah menenteng tas dan berusaha mengendap-endap melihat keluar, apakah ada guru yang memperhatikan dipergantian mata pelajaran kali ini.

" Kelihatannya gimana," jawabku," gue males pelajaran Sosiologi, kalau bu Erni nanya bilang aja gue nggak enak badan." jelasku pada Martha yang menanggapinya dengan hal yang biasa.

Setelah melarikan diri dari kelas harusnya aku langsung pulang ke rumah, tetapi entah mengapa aku memilih untuk transit dahulu di kantin sekolah dan disana aku melihat juga beberapa anak melakukan hal yang sama denganku.

Sebelum ke kantin aku menyempatkan diri ke toilet untuk mencuci muka dan disana aku bertemu Marsha, salah satu murid cewek cantik yang tak lain tak bukan adalah murid cewek paling populer di sekolahku, kami cukup mengenal satu sama lain.

" Habis dari kamar mandi?" tanyanya dengan sorot mata ingin tahu.

" Menurut lu." aku sedang tidak mood menanggapi omongan cewek yang terkenal juga dengan sebutan tukang gosip.

Untungnya ia tidak marah tetapi ia melihatku dengan sinis." Mau bolos ya. Belum jam pulang sekolah udah bawa-bawa tas segala." ternyata ia memperhatikan tas yang berada disebelah tangan kiriku.

" Kalau iya kenapa, kalau nggak kenapa." Ia hanya tersenyum sinis dan langsung kembali lagi ke kelas. Aku sendiri tak peduli, kecuali jika ia mengadu pada salah satu guru untuk menangkapku dan membawaku keruang BK, baru aku akan turun tangan langsung.

Setelah sampai di kantin aku membeli segelas es teh dan beberapa gorengan." Hei Sep, masih di sekolah ceritanya?" terlihat salah satu murid cowok yang aku kenal menghampiriku.

" Eh elu Ton, sejak kapan kantin bukan bagian dari sekolahan." jawabku santai.

Tono hanya tertawa." Sejak kantin tempatnya makan bukan belajar," ujar Tono," lagian mana ada murid yang belajar di kantin."

" Ada," jawabku," belajar bolos."

" Bisa aja," Tono mengambil gorengan yang berada didepannya," ngomong-ngomong memang pelajaran terakhir lu apa, sampai bolos segala." lanjutnya.

" Bukan pelajarannya tapi gurunya," aku menyeruput es teh dan menghabiskan sisa gorengan lalu melanjutkan," dua hari yang lalu orangtua gue dipanggil tapi nggak bisa datang, makanya malas aja kalau ditanya-tanya lagi." jelasku singkat.

Tono hanya mengangguk tanda paham, tak lama kemudian teman-teman lainnya yang berada di kantin semua berkumpul dimejaku dan kita saling bercerita alasan masing-masing membolos, ada yang tidak suka pelajarannya, gurunya atau keduanya, aku tidak kenal mereka semuanya tetapi ada beberapa nama yang sudah cukup aku kenal lama sama seperti Tono, namun satu hal yang pasti kita semua tidak pernah membeda-bedakan atau melabeli murid-murid lainnya.

Tetapi entah mengapa keesokan harinya aku dilabeli murid cewek tukang bolos yang secara tidak langsung hampir sama dengan murid nakal.

Namun aku tidak peduli dengan semua itu, seperti halnya dengan sekolahku.

Too Young to be MomTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang