Setelah kemaren mendapat dukungan dari teman-temanku yang masih waras, aku masih saja sangsi untuk ke sekolah. Aku masih takut dan malu dengan semua tatapan mereka serta kata-kata yang mereka semua lontarkan, baik didepan atau dibelakang. Ditambah panggilan dari wali kelas yang aku abaikan.
Akhirnya hari penentuan datang juga. Setelah aku memutuskan untuk mengikuti kata hatiku untuk tidak masuk sekolah di tiga hari terakhir, senin pagi ini aku harus benar-benar memutuskan apakah akan datang ke sekolah untuk ikut ujian atau tidak.
Berita terakhir yang kudengar adalah, bahwa para guru sedang menantikan kehadiranku untuk membicarakan perihal diriku yang katanya sudah merusak nama sekolah.
Dan senin pagi ini aku bangun dengan rasa cemas. Haruskah aku mengikuti kata hatiku atau saran teman-temanku, Juna pun sama menyarankan bahwa aku harus mengikuti ujian akhir karena ini adalah penentuan dari masa SMA ku.
" Kamu yakin nggak mau ke sekolah," aku diam saja," nggak sayang sama sekolah yang udah kamu jalani selama tiga tahun?" aku dan Juna saling melirik satu sama lain, memastikan bahwa aku berubah pikiran.
Lalu tak lama kemudian terdengar suara langkah kaki berat dari depan." Kamu masih dirumah, bukannya hari ini kamu UN?" tanya kak Raisa dengan mata terbelalak. Aku sendiri kaget kakakku kekontrakanku tanpa pemberitahuan terlebih dahulu, seakan-akan ia sudah bisa meraba kalau aku tidak akan ikut ujian nasional.
Sebelum omelan kakakku terdengar, Juna berusaha mengambil alih masalah ini." Mbak boleh aku bicara, masalah sekolah Septi." Kak Raisa mengangguk. Dan aku hanya bisa mendengar bisik-bisik mereka di ruang tamu dari dapur.
" Mbak nggak setuju," aku terkejut mendengar kakakku langsung meninggikan suaranya," Septi, kamu harus ikut ujian." dia sudah berdiri dihadapanku dengan tangan terlipat seakan-akan menungguku untuk mengikuti arahannya.
" Aku nggak mau," jawabku dengan malas," lagian aku udah tiga hari nggak masuk, pasti nggak akan diizinkan mengikuti ujian."
" Kita nggak akan tahu kalau nggak memastikannya sendiri," aku melihat mas Rizal tidak menyertai, andai saja mas Rizal ada mungkin ia bisa membujuk kak Raisa untuk membiarkan aku memilih apa yang terbaik bagi aku," dan jangan sekalipun dengarkan omongan-omongan buruk yang dilontarkan orang lain."
" Mbak, aku itu sebenarnya udah dikasih surat panggilan dari sekolah, tapi aku hiraukan, jadi... ." aku berpikir sejenak," dan aku sudah melanggar aturan sekolah." Aku tidak tahu harus bicara apalagi.
" Kata siapa kamu melanggar peraturan sekolah, setahu mbak nggak ada tuh di peraturan seorang siswa nggak boleh menikah dan punya anak asal bisa membagi waktu dengan sekolahnya, semua itu tidak perlu dipermasalahkan." Kak Raisa seperti sudah paling tahu mengenai aturan sekolah, sama seperti pikiran Badrun." Dengar kamu sudah menikah dan sah menurut hukum jadi kamu nggak melanggar apapun."
Sayangnya kak Raisa keras kepala." Aku udah jadi bahan omongan di sekolah, sekarang kak Raisa mau aku masuk ke sekolah dengan disambut hujatan. Aku malu kak, sayangnya kak Raisa nggak berada diposisi aku."
Kak Raisa sedang berusaha mencari kata yang tepat." Kamu malu datang ke sekolah dan malu jadi bahan omongan, tetapi kamu tidak malu melakukan hal yang membuat kamu sekarang jadi begini?" aku kaget mendengar pernyataan kak Raisa, aku paham betul apa maksudnya.
Juna yang medengarnya pun ikut terkejut dan merasa bahwa memang apa yang dulu kami lakukan adalah sebuah kesalahan." Kalau bicara malu, harusnya dari dulu kamu pikirkan, bukannya baru terlintas sekarang dan membuat semua orang menjadi repot karena masalah yang kamu buat." Kakakku langsung pergi begitu saja kedepan rumah.
KAMU SEDANG MEMBACA
Too Young to be Mom
RomanceSeptianna, seorang murid yang tidak hanya akan menghadapi ujian akhir di sekolah, tetapi mengahadapi getirnya hidup sebagai anak yang tak diacuhkan ayahnya, ditambah kehadiran sang kakak yang selalu mengatur hidupnya. Ketika hubungannya dengan Ju...