Aku menceritakan mengenai pertemuanku dengan ayah pada Juna. Dia sendiri tak dapat berkata banyak, hanya bisa menyuruhku untuk bersabar. Sabar itu memang mudah untuk diucap namun sangat sulit untuk dijalankan, terutama jika masalah selalu menderaku. Tapi perhatian yang diberikah oleh Juna dari hari ke hari ternyata mampu melupakan semua penat dihati.
" Mungkin bapak masih membutukan waktu yang cukup untuk melupakan semuanya."
" Kamu pikir tujuh belas tahun waktu yang sebentar." Aku menggerutu sendiri.
" Bagi ayah itu mungkin saja." Juna berkata seakan-akan ia paham betul sifat ayahku." Dengar, setiap manusia mempunyai cara dan waktu yang berbeda untuk memecahkan masalahnya sendiri. Kak Raisa mungkin hanya membutuhkan waktu sebentar untuk mengikhlaskan kepergian ibu, tetapi bagi ayah yang sudah mengenal ibu lebih dari lima belas tahun bukan waktu yang mudah pastinya."
Aku masih saja tidak menerima." Tapi tetap saja jika ayah sudah dewasa harusnya tak harus membutuhkan waktu yang begitu lama, bahkan sampai detik ini dimana sebentar lagi ia sudah ingin mempunyai cucu."
" Mungkin juga-," tiba-tiba handphone Juna berbunyi dan ia langsung mengangkatnya. Aku mendengar sebutan Ibu dilontarkan oleh Juna, dan aku rasa ia sedang berbicara dengan ibunya.
Setelah Juna menutup teleponnya." Ada apa?" tanyaku.
" Ibuku mau kesini lusa." jawab Juna cepat.
" Oh," ibunya Juna mau kesini," datang sama adik kamu atau gimana?" apa yang mesti aku lakukan nanti, karena sebelumnya aku belum pernah bertemu langsung dengannya.
" Sendirian katanya, kamu nggak keberatan kan."
Aku jadi salah tingkah." Nggak... lagian untuk apa, dia kan ibu aku juga." dan aku tersenyum malu membayangkan bagaimana rasanya memiliki seorang ibu.
Waktu kecil aku merasa kak Raisa adalah ibuku, tetapi beranjak SMP, aku tahu bahwa ia hanya sekedar kakakku dan mempunyai kehidupannya sendiri. Tapi setidaknya ia sama-sama seorang wanita, sedangkan sosok ayah sendirilah yang tak pernah aku dapati dari dulu. Namun Juna sendiri ayahnya sudah meninggal.
Ibunya datang pasti karena sudah diberitahu oleh Juna sebulan yang lalu perihal hidupnya yang sudah beberapa bulan ini berubah. Aku sedikit cemas menantikan kehadiran ibu Juna, apakah nanti ia akan suka dengan menantunya.
" Tenang aja ibuku baik dan tak begitu banyak bicara." ujar Juna perihal ibunya, semoga saja memang benar, karena aku masih sedikit trauma bertemu seorang ibu seperti ibunya mas Rizal.
" Senang mendengarnya." Aku tersenyum senang,
Juna teringat sesuatu." Oh ya sampai dimana pembicaraan kita tadi."
" Sudahlah, sudah malam." Aku tahu sebelum ibunya menelpon, kami membicarakan tentang sikap ayah, tapi aku terlalu malas membahasnya karena tak pernah ada jalan keluar yang jelas jika membicarakan masalah ayah.
Ibunya akan datang dan menginap tiga hari dua malam disini. Aku begitu menantikannya. Dan kali ini aku berharap ia tidak seperti ibu mertua kak Raisa dan aku akan membuktikan bahwa tinggal dengan ibu mertua tidaklah seburuk perkiraan banyak orang.
*
Pagi ini Juna sedang menjemput ibunya di stasiun. Aku harap-harap cemas menantikannya, biarpun aku sudah masak lumayan banyak, ayam goreng, telur balado serta sayur sop, tapi ada perasaan takut jika ibu Juna tidak menyukaiku. Bayangan ibu mertua yang cerewet dan sinis pada menantu seperti terbayang dibenakku.
KAMU SEDANG MEMBACA
Too Young to be Mom
RomanceSeptianna, seorang murid yang tidak hanya akan menghadapi ujian akhir di sekolah, tetapi mengahadapi getirnya hidup sebagai anak yang tak diacuhkan ayahnya, ditambah kehadiran sang kakak yang selalu mengatur hidupnya. Ketika hubungannya dengan Ju...