Masa Depan

6.6K 278 0
                                    

Lusa aku sudah masuk sekolah kembali, untuk memasuki semester terakhirku di sekolah. Kadang aku ingin meninggalkan sesuatu yang berkesan saat akhir tahun aku sekolah tetapi apakah itu bisa terwujud, entahlah.

Dan minggu depan pun memasuki masa kehamilanku yang keenam atau tujuh minggu, itu menurut perhitunganku sendiri. Benar atau tidaknya aku tidak tahu pasti karena sampai saat ini aku sama sekali belum ke dokter dan untungnya perutku juga belum membesar sehingga masih aman untuk disembunyikan.

Sabtu ini kakakku beserta suaminya mas Rizal main ke rumah dan berencana menginap semalam. Kadang dengan kehadiran kakakku, aku sangat senang karena suasana rumah menjadi hidup kembali, aku dan mas Rizal pun tak jarang main game bersama karena dia sangat suka dengan game pro Soccer yang aku miliki, kadang jika tengah malam aku terbangun, kami berdua juga nonton sepak bola bersama, dimana kakakku sering mengeluh kebiasaanku yang seperti anak laki-laki.

Tetapi kehadiran kakakku harus dibarengi dengan segala nasehat dan ceramahnya yang tiada henti jika kami sedang berada dalam satu ruangan.

" Kamu sampai sekarang nggak kepikiran mau kuliah dimana?" katanya sewaktu aku tak begitu tertarik ditawari kuliah di Bandung atau Jogja.

" Tapi kamu udah tahu kan mau ambil jurusan apa?" katanya kembali dengan separuh keyakinan bahwa aku sudah merencanakan masa depanku.

Aku memutar otak dan kedua bola mataku sambil berpikir." Mungkin jurusan olahraga." jawabku setangah yakin.

" Memangnya kamu mau jadi altet." sergah kakakku," udah telat. Kalau niat jadi altet tuh dari kecil udah masuk klub, ikut kejuaraan, perlombaan, pertukaran atlet antar daerah atau antar negara. Memangnya kamu serius mau jadi atlet? Atlet apa, jangan bilang atlet Sepakbola." Ada sedikit nada mengejek sekaligus marah dalam ucapan kak Raisa.

" Habis mau bagaimana, cuma pelajaran olahraga yang aku suka," kataku ketus," lagipula kalau pelajaran olahraga kita nggak perlu menghabiskan waktu buat buka buku dan bisa langsung praktek." setidaknya itu menurut pendapatku, lagipula olahraga juga sangat berguna untuk kesehatan, tidak seperti pelajaran lain yang sudah susah payah aku pelajari di SMA tetapi belum tentu bermanfaat di kemudian hari buatku.

Kakakku menggeleng-gelengkan kepala." Memangnya nggak bisa jurusan lain, jurusan yang lebih masuk akal."

" Seperti apa?" tanyaku yang masih buta akan dunia kuliah.

" Seperti Ekonomi, Hukum atau Komunikasi, semua jurusan itu kan banyak menyediakan lapangan pekerjaan pas kita lulus." aku belum terpikirkan sampai kesana, untuk lulus dari ujian akhir saja aku masih sangsi apakah aku bisa.

Sebelum aku membuka suara, mas Rizal sudah menyahut." Biar aja Raisa dia mau ambil jurusan pilihannya, itukan kemauannya, lagian selama ini ia sudah berusaha semaksimal mungkin hidup mandiri," mas Rizal berbicara sangat bijak sekali.

" Lagipula rata-rata murid kalau belum lulus ujian nasional biasanya belum kepikiran sampai kesana atau mau memilih jurusan apa. Biar aja Septi fokus sama ujian nasional dulu." aku langsung bertolak pinggang didepan kak Raisa yang cemberut karena suaminya lebih memihakku daripada dirinya.

" Setuju sekali." ucapku sangat senang karena bisa menyudutkan kakakku.

Jika mas Rizal suaminya sudah bicara, terkadang kak Raisa tak bisa berkutik. Mereka itu ibarat saling melengkapi, kak Raisa yang cerewet dengan ceramahnya kesana kemari, sedangkan mas Rizal yang bijak dengan saran-saran yang membuat suasana menjadi tenteram.

Tetapi aku tahu mereka berdua saling mencintai dan menerima kelebihan serta kekurangan masing-masing. Andai saja ada anak diantara mereka pasti sangatlah lengkap keluarga kakakku. Seketika itu aku teringat anak yang sedang aku kandung, jika aku memberikannya, apakah mereka mau merawatnya.

Selepas pembicaraan mengenai masa depanku, mereka berdua nonton televisi bersama, sedangkan aku yang suntuk habis diceramahi, ingin menjernihkan pikiran dengan jalan-jalan sebentar keluar rumah.

Biasanya aku keluar rumah untuk membeli makanan, tapi kali ini aku hanya cari angin saja, mungkin berharap angin malam dapat merefleksikan pikiran dari masalah-masalah yang sudah menimpaku.

Aku berjalan memutari sekitar komplek, memandangi setiap sisi rumah yang aku lewati. Kadang aku ingin tahu apakah suasana rumah orang lain sama seperti milikku, apakah setiap dari mereka lebih bahagia dariku atau malah sebaliknya. Kadang aku merasa aku anak paling tidak beruntung didunia, walaupun sudah banyak berita-berita di televisi menyiarkan hal yang lebih buruk daripada hidupku.

Ketika kakiku sudah mulai terasa lelah untuk melangkah lagi, instingku mengatakan aku harus segera pulang. Dan untuk yang kesekian kalinya, Kevin menungguku didepan rumahnya.

" Sendirian aja Septi?" tanya dengan wajah yang selalu serius," biasanya jalan sama Arjuna." mengapa dia mengingatkanku akan nama itu.

" Lagi pengen sendiri aja," aku tersenyum tulus," kamu sendiri dari tadi di rumah aja?"

" Tadinya pengen ke kampus tapi teman yang mau aku ajak lagi nggak bisa."

" Lagi liburan gini ke kampus." Aku menatap dengan heran, setahuku sepintar-pintarnya orang mereka selalu membutuhkan liburan disela-sela belajar.

" Cuma ke perpustakaan," balasnya datar," mau cari-cari bahan buat skripsi."

" Memangnya kamu udah mau lulus?"

" Belum sih, persiapan aja biar nanti nggak terlalu pusing mikirin judul."

" Rajin banget mikirin sesuatu yang masih lama terjadi."

" Apa salahnya menyiapkannya dari sekarang," jawabnya mantap," cepat atau lambat setiap mahasiswa pasti ngalamin yang namanya skripsi." Kevin sepertinya mempersiapkan semuanya dengan matang.

Lalu aku berkaca pada diriku sendiri, harusnya aku juga mempersiapkan masa depanku serta anak yang kukandung sekarang, bagaimana kalau cepat atau lambat semua orang tahu keadaanku saat ini.

" Kamu kenapa Sep?" tanya Kevin yang melihatku terdiam tanpa kata," kamu kayak menghadapi sebuah masalah yang besar, dan akhir-akhir ini aku perhatikan muka kamu selalu terlihat murung."

Aku menjadi salah tingkah dengan ucapan Kevin." Nggak kok, biasalah masalah ayah," aku separuh berbohong," kayaknya aku mesti masuk deh Vin, ada kak Raisa sama mas Rizal mau nginep malam ini."

" Oh gitu, sampai ketemu nanti lagi kalau begitu." Kevin masuk kedalam rumahnya begitu juga aku.

Baru aku membuka pintu ruang tamu, terdengar suara kak Raisa dan mas Rizal yang sibuk mengomentari sesuatu yang mereka lihat di televisi." Lagi nonton apa sih?" tanyaku pada mereka," heboh banget kelihatannya."

" Cuma nonton berita, tapi miris banget lihatnya." jawab kakakku penuh iba, seakan-akan dia mengalaminya peristiwa yang ia lihat sendiri.

" Memangnya berita apa?"

" Ada bayi yang dibuang ditempat sampah sama ibunya," jawab kakakku marah," zaman sekarang aneh, banyak ibu yang membunuh darah dagingnya sendiri, sebegitu murahkah nyawa seorang anak yang tak berdosa."

Kata-kata kakakku menusuk jantungku serta perasaanku dan hampir saja menjatuhkan gelas yang baru saja aku ambil untuk minum. Mendengar nada marah kak Raisa, aku yang ingin bergabung bersama mereka menonton televisi, tiba-tiba mengurungkan niatku dan beranjak ke kamar.

Aku paham mengapa kak Raisa marah, ia pasti merasa Tuhan tidak adil. Disaat ia sangat mengingkan anak, dilain tempat banyak sekali anak yang ditelantarkan ibunya, termasuk diriku yang sedang menimbang sesuatu.

Apakah aku sanggup membesarkan anakku, seperti yang diharapkan setiap ibu.

hE 

Too Young to be MomTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang