Panik

7.2K 282 0
                                    

Aku tahu besok adalah hari pengambilan raport dan kakakku akhirnya mau meluangkan waktu untuk mengambilnya tetapi bukan itu yang menjadi masalah. Aku tak peduli dengan siapa yang mengambil raportku atau berapa nilai-nilaiku yang tertera di raport atau lulus tidaknya semua mata pelajaran yang diujikan kemaren, karena saat ini yang aku pedulikan hanya bagaimana agar kakakku tidak mengetahui tentang kehamilanku.

Kadang terlintas kembali dibenakku untuk menggugurkannya tetapi sesadis itukah aku. Sesekali juga aku berdoa agar kehamilan ini berpindah kepada kakakku yang sangat menginginkannya, mengapa Tuhan memberikan anak padaku yang tak aku inginkan dan mengapa tidak Tuhan memberikannya kepada kakakku yang lebih menginginkannya. Mungkin itu sama saja aku bertanya mengapa orang miskin bertambah miskin dan orang kaya bertambah kaya bukan sebaliknya.

Tapi ini menyangkut nyawa seorang bayi bukan mengenai perut seseorang yang harus diisi. Atau pernah sekali aku bermaksud melarikan diri sampai bayi ini lahir lalu bersembunyi dan setelah bayi ini lahir aku meninggalkannya didepan panti asuhan seperti di film-film.

Atau seperti film Juno yang aku tonton beberapa bulan lalu mengenai anak sekolah yang hamil dan menyerahkannya pada seorang ibu yang belum dikarunia anak. Entahlah aku sendiri tidak tahu, tetapi menurutku masih ada waktu memikirkannya sebelum perutku mulai membesar.

Hari ini sebelum ke sekolah, kakakku ke rumah terlebih dahulu memastikan keadaan aku dan ayahku baik-baik saja.

" Kira-kira kamu rangking berapa?" tanya kakakku sebelum keluar rumah.

Aku mengangkat bahu tanda tak tahu." Memangnya kalau dapat rangking mau dikasih apa?" aku malah balik bertanya.

" Kalau kamu rangking satu, kamu boleh minta apa saja yang kamu mau," kakakku tersenyum tetapi tiba-tiba dia sadar ada yang salah dengan perkataannya," tapi kayaknya nggak mungkin, apalagi melihat track rekor kamu selama ini." bibir bawah kakakku agak dimiringkan sedikit yang membuatnya mirip bebek keselimbet lidahnya sendiri.

Baru saja kakakku melanjutkan pertanyaannya mengenai ujian tengah semester kemaren, perutku tiba-tiba mual kembali. Aku, yang sedang menyusun rencana untuk menyembunyikan kehadiran bayi didalam kandunganku sampai waktu yang tepat, segera meluncur kekamar mandi dan muntah seketika.

Ketika aku ingin muntah lagi kakakku sudah berada didepan pintu kamar mandi, dan aku menahan mualku sekaligus mengkunci pintu kamar mandi.

" Kamu baik-baik aja Sep?" tanya kakakku sedikit cemas.

" I'm okay kak, cuma udah nggak tahan mau buang air." lalu aku menyalakan penyiram air otomatis untuk mengkamuflase suara mualku. Dan ketika suara langkah kaki kakakku menghilang diganti oleh suara bunyi mesin mobil aku sangat bersyukur.

Sambil menunggu kakakku pulang aku tidak bisa tenang, banyak sekali hal yang aku pikirkan. Nilai raport, kelanjutan sekolah, tentang Juna, ayah, dan tentunya tentang bayi yang aku kandung, walaupun aku juga sempat memikirkan tentang ibu.

Andai saja ibuku masih ada mungkin aku takkan secemas ini atau mungkin saja hal ini takkan pernah terjadi padaku karena seorang ibu pasti akan menuntun anaknya ke jalan yang baik, sayangnya ayah bukan ibu dan kakakku hanyalah sekedar kakak yang hanya memantauku dari jauh.

Tak lama aku mendengar pintu pagar dibuka, dan ternyata kakakku sudah datang. Kebanyakan nilai raportku sudah bisa aku tebak dari hasil ujian dan ulangan-ulangan selama ini. Tapi tetap saja siapa tahu guru-guru di sekolah bermurah hati untuk memberiku nilai tinggi di raport, mengingat disaat-saat terakhir aku sudah berusaha belajar dengan giat.

Lama aku tunggu kakakku belum juga masuk kedalam rumah. Baru setelah sepuluh menit kakakku masuk memberikan raportku beserta sekotak makanan dan sebungkus hadiah. Tadinya aku berpikir bahwa aku mendapatkan rangking di kelas tapi itu tidak sesuai dengan tradisi.

" Ini apa kak?" aku mempertanyakan hadiah yang kakakku berikan," jangan-jangan aku dapat rangking ya." Aku tersenyum sumringah tak percaya.

" Nilai kamu nggak sejelek semester kemaren sih, tapi bagi kakak itu sudah lumayan sebagai peningkatan dan berubahnya pola pikir kamu menjelang ujian nasional." Ada kata-kata pujian dalam nada bicara kakakku." Cuma kakak aneh saja biasanya nilai olahraga kamu bagus, semua nilai pelajaran kamu lebih baik dari semester kemaren hanya pelajaran olahraga dan sejarah saja yang turun."

Jelas saja kedua pelajaran itu nilaiku turun, pelajaran sejarah pastinya karena hasil nilai ujian tengah semester kemaren sangat jeblok sedangkan olahraga karena dua minggu terakhir aku malas bergerak serta ujian praktek yang gagal disetiap melakukan aksiku seperti biasanya.

" Oh begitu, pantas kakak kasih aku hadiah." Aku langsung membuka hadiah yang diberikan kakakku.

" Bukan," kakakku membantah," itu bukan dari kakak, justru kakak ingin tanya juga sesuatu sama kamu." Apakah ini menyangkut bayi yang ada dikandunganku, aku mulai curiga, atau kakakku bertemu dengan Juna dan dia menceritakan kejadian malam itu.

" Tanya apa kak." Aku pura-pura tidak tahu.

" Kamu ada hubungan apa sama laki-laki yang tinggal didepan rumah," kakakku seperti mengingat-ingat sesuatu," sama anaknya bu Riska. Kamu pacaran sama anaknya ya?" tanya kakakku menginterogasi.

Aku kaget, mengapa semua ini jadi mengarah pada Kevin.

Atau mungkin Kevin mengetahui kejadian malam itu dan berkata pada kak Raisa." Jangankan pacaran, pegangan tangan aja nggak pernah," aku merasa geli membayangkan aku dan Kevin berpegangan tangan," memangnya kenapa kakak punya kesimpulan seperti itu." atau mungkin saja Kevin tahu kalau aku hamil dan sangat ingin bertanggung jawab untuk menikahiku saat ini juga.

" Tadi didepan kakak ketemu bu Riska lalu dia kasih makanan buat kamu. Terus katanya anaknya nitip hadiah buat kamu juga." jelas kak Raisa padaku. Oh aku lega ini hanya masalah pemberian bu Riska seperti biasa.

" Jadi hadiah ini dari Kevin." Aku langsung menyingkirkan kado tersebut.

Raisa kaget." Kok malah dibuang, bukannya berterima kasih," protes kakakku membereskan kembali hadiah yang aku singkirkan," lagian kalau kamu nggak ada hubungannya sama Kevin, nggak mungkin dia kasih kado ke kamu."

" Memangnya kakak nggak paham apa, selama ini bu Riska juga kasih makanan ke aku karena ada maunya." kataku sedikit kesal.

" Masa. Bukannya bu Riska kasih kamu makanan karena kasihan lihat kamu tiap hari kalau mau makan beli diluar terus."

" Kakak mana paham, tiap hari kalau kasih aku makanan pasti selalu bawa-bawa nama anaknya." ujarku bersikukuh.

Kakakku diam sebentar dan melanjutkan kesimpulannya." Berarti kamu belum pernah pacaran kan, dan itu bagus." ujar kakakku yang langsung merapihkan pakaiannya kembali karena harus ke tempat kerjanya." Kalau masih sekolah nggak usah pacar-pacaran. Lagipula kalau penampilan kamu kayak begini kakak juga sangsi ada laki-laki yang bakal deketin kamu." seketika itu aku tahu kalau kakakku sedang meledekku.

Aku tidak bisa membayangkan jika kakakku tahu bahwa aku sedang mengandung, apakah ia hanya akan meledekku atau hanya memarahiku atau jangan-jangan malah lebih parah, yaitu tak menganggapku sebagai adiknya. Sudah cukup aku diabaikan oleh ayahku, dan sekarang aku tak mau kakakku melakukan hal yang sama seperti ayahku.

Perkataan kakakku memang ada benarnya, aku belum sekalipun berpacaran dan mana ada lelaki yang ingin mengajakku kencan dengan penampilan berantakan seperti ini. Aku sendiri pun belum mempunyai rasa suka terhadap lelaki manapun, tetapi jika memang iya mengapa aku sekarang mengandung.

Apakah sebenarnya dalam lubuk hariku yang terdalam aku mencintai Juna. Dia memang tampan dan aku cukup menyukai wajah dan sifatnya, atau apakah itu berarti sebaliknya bahwa ternyata Juna menyukaiku, tetapi bukankah selama ini dia selalu mengejar-ejar Gina.

Kadang aku berharap seperti Maryam bahwa aku ini wanita yang masih suci dan bayi ini adalah pemberian langsung dari Yang Maha Kuasa untukku, tetapi bukankah semua anak adalah pemberian dari-Nya, lalu mengapa aku menangis. 

Too Young to be MomTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang