Pelarian #2

4.6K 189 0
                                    

Biarpun aku sudah ditenangkan oleh perkataan Shanaz mengenai gosip yang beredar, tetap saja lama-kelamaan aku merasa tidak sanggup lagi menatap semua teman-teman sekolahku.

Tatapan mereka semua seperti panah yang siap menghujam jantungku kapan saja dan dimana saja aku berada.

Dari jarak radius satu meter pun aku sudah bisa merasakan tajamnya tatapan mereka serta bisik-bisik diantara mereka dan selanjutnya aku tak bisa menerka pikiran mereka terhadapku, positif atau negatifkah penilaian mereka padaku, khususnya Marsha dan teman-teman segengnya.

Marsha yang merasa gagal mendapatkan bukti pengakuanku berusaha meyakinkan murid-murid lain bahwa gosip yang beredar adalah sebuah kenyataan dan sosok yang dimaksud gosip itu adalah aku, bahkan Marsha saat ini sedang berusaha memberitahu pada guru konseling bahwa aku merupakan murid yang telah merusak nama baik sekolah.

Dan kini sepertinya aku mulai sadar bahwa Martha dan Rina juga sudah mulai mencurigaiku. Itu bisa dilihat dari jarangnya mereka berbincang kepadaku dan sering berbisik-bisik berdua tanpa mengajakku.

Dan saat itu aku merasa yakin bahwa mereka bukan teman baikku. Jika saja dulu aku curhat dengan mereka, apakah saat ini mereka masih menganggapku sebagai teman.

Pada jam ketiga di pelajaran sejarah aku merasa harus fokus, pertama untuk pengalihan dari masalah yang menerpaku, kedua karena sedang membahas hasil try out kami serta kisi-kisi yang akan muncul pada ujian akhir minggu depan.

Dan kedua karena aku cukup menyukai pelajaran sejarah dimana aku bisa menyelusuri sejarah suatu peristiwa ataupun tokoh-tokoh terkenal di dunia. Semua perjalanan hidup tokoh-tokoh hebat itu memang tidak selalu berjalan mulus, seperti Soekarno, bung Hatta bahkan seorang Nelson Mandela sekalipun. Harusnya teman-temanku berkaca pada sejarah bahwa manusia hidup itu tidak ada yang sempurna.

Selagi aku mendengarkan materi yang disampaikan oleh bu Rohana serta kisi-kisi soal ujian yang nanti akan kami hadapi, tiba-tiba bu Latifah, orang tata usaha, datang kekelasku dan berkata bahwa aku dipanggil oleh bu Susan, guru konseling. Konsentrasiku tiba-tiba buyar, aku merasa ada yang tidak beres yang akan terjadi.

Dan ketika aku berjalan menuju ruang konseling aku melewati kelas sebelah dimana Marsha mengintip dari jendela dan seakan-akan mengejekku bahwa riwayatku sudah tamat.

Aku membayangkan apa yang nanti akan ditanya oleh bu Susan, dia pasti mencercaku dengan berbagai pertanyaan, lalu aku berusaha mengarang cerita tetapi bagaimana jika nanti semua masalah ini terkuak dan aku sudah tidak bisa berkutik lagi.

Pasti itu akan lebih menyulitkanku, dan kesalahanku akan menjadi tiga kali lipat, pertama aku telah merusak nama baik sekolah dengan hamil diusia belia, kedua aku menikah diam-diam di saat masih menempuh bangku sekolah dan yang ketiga ketahuan berbohong untuk menutupi kesalahanku yang pertama dan yang kedua.

Aku semakin tidak bisa berpikir jernih, dan disaat langkahku hampir mendekati ruang bimbingan konseling, secepat kilat aku kabur dari sekolah melewati jalan belakang kantin.

Di kantin sekilas aku melihat Tono dan teman-temannya memanggilku tetapi tak aku hiraukan dan aku terus melesat melewati tembok dan sejenak aku lupa bahwa aku sedang mengandung, untungnya ketika turun aku tidak langsung loncat dan tertatih-tatih menapaki lubang yang ada disisi tembol luar sekolah.

Setelah aku bebas dan berada diluar sekolah aku langsung pulang tanpa melihat lagi kearah belakangku.

*

Sesampainya di kontrakan aku merebahkan diri dan membulatkan tekad bahwa aku tak mau kembali lagi ke sekolah. Aku sudah muak dengan keadaan sekolah, dengan guru-guru, dengan teman-temanku khususnya Marsha dan gengnya sekaligus dengan Martha dan Rina yang juga tak mengacuhkanku.

Aku tahu mereka mungkin malu mempunyai teman dekat seperti aku yang sudah merusak nama baik mereka juga, tetapi harusnya mereka berkata langsung didepanku bukan berbisik-bisik dibelakang lalu mencampakkanku.

Aku marah mengapa semua temanku tidak berpikiran seperti Shanaz, aku marah pada Juna yang tak datang melindungiku, aku marah pada kak Raisa yang hanya bisa menceramahiku tanpa pernah tahu apa yang aku rasakan, dan aku sangat marah pada ayah yang tak pernah mengurus hidupku dengan benar.

Tetapi pada akhirnya aku marah pada diriku sendiri yang telah membiarkan kemarahan ini aku lampiaskan pada orang lain padahal semua ini bermula padaku dan kalau ada satu orang yang harus disalahkan dari semua kekcauan ini, orang itu adalah aku.

Pelarianku hanya terjadi beberapa saat, karena tepat pukul empat sore entah mengapa ada yang memanggil namaku dari luar kontrakan. Lalu aku lihat dari jendela dan ternyata teman-temanku diluar memanggil namaku. Sepertinya mereka datang untuk menemuiku, aku melihat ada Tono, Heri dan kawan-kawan beserta Rina dan juga Martha.

Aku sedikit aneh melihat mereka berdua, bukankah mereka malu mempunyai teman sepertiku. Lama mereka memanggil tetapi aku tak kunjung mau keluar menemui mereka, aku masih kesal dan malu pada diriku. Lalu setengah jam kemudian ketika mereka baru saja ingin meninggalkan kontrakan rumahku, Juna datang dan aku hanya bisa mendengar melalui jendela kontrakan.

" Kalian teman-teman Septi?" Juna bertanya dengan sopan.

Mereka semua mengangguk." Iya mas." tetapi Tono melanjutkan kalimatnya." Mas suaminya Septi ya?"

Juna sedikit ragu untuk menjawab tetapi karena mereka sudah menebaknya maka Juna tidak dapat menghindar lagi." Iya memang benar. Kalian kesini mencari Septi?"

" Iya mas," jawab Rina," ada yang mau kita omongin, soal ujian, tadi Septi buru-buru pulang gitu." lanjut Rina.

" Sebentar ya." kemudian Juna membuka pintu depan kontrakan kami tapi aku menahannya dari dalam. Merasa ada yang aneh dengan pintu itu Juna berusaha melirik lewat jendela, dan akhirnya ia melihat aku yang setengah ketakutan untuk bertemu dengan teman-temanku.

Untungnya Tono dan kawan-kawan sadar bahwa aku tidak ingin bertemu dengan siapapun. Dan mereka pada akhirnya berpamitan dan hanya menitipkan salam lewat Juna.

Tak lama Juna masuk dan berkata." Kamu menghindar dari mereka? Kenapa?"

Harusnya Juna sudah tahu jawabannya, tetapi karena aku ingin melampiaskan keluh kesahku akhirnya aku bercerita mengenai keadaan sekolah dari gosip yang beredar, tentang geng Marsha juga tentang aku yang dipanggil guru konseling.

Selesai bercerita aku baru sadar kalau aku salah tempat untuk berkeluh kesah, bukannya Juna masih mendiamkanku. Tapi ketika wajahnya mengasihaniku, ada perubahan dalam sikap Juna padaku kini. Dan aku sangat mensyukurinya.

Juna sepertinya sangat tahu bahwa pertahananku sudah mulai runtuh.

Karena itu setelahnya ia hanya berkata." Lebih baik kamu mandi dulu dan makan, nanti kita omongin lagi soal sekolah kamu."

Aku menuruti perkataan Juna dengan patuh, karena memang saat ini aku ingin membasahi kepalaku dengan air, berharap bebanku bisa ikut terbawa kotoran ditubuhku mengalir keluar hingga tak ada lagi masalah yang menempel dipikiranku.

Dan Juna, akhirnya bicara seperti dulu lagi. Aku cukup senang mendengarnya.

erja.yD3"

Too Young to be MomTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang